DaerahEntertainmentNews

Tradisi Peresean:Tradisi Meminta Hujan hingga Atraksi Budaya Lombok

×

Tradisi Peresean:Tradisi Meminta Hujan hingga Atraksi Budaya Lombok

Sebarkan artikel ini
Tradisi Peresean:Tradisi Meminta Hujan hingga Atraksi Budaya Lombok
12ass
12adff

Lombok, Jurnalekbis.com – Peresean, sebuah tradisi khas masyarakat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang dulu dikenal sebagai bagian dari ritual spiritual “Kemalik,” kini telah berevolusi menjadi salah satu daya tarik budaya yang populer, terutama di era pariwisata modern.

Pada masa lampau, peresean bukan sekadar pertarungan fisik antara dua petarung (pepadu). Tradisi ini berperan penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Sasak, digunakan sebagai sarana untuk memohon hujan ketika musim tanam tiba. Peresean dilakukan saat cuaca sangat panas dan kering, kondisi yang sering kali menyulitkan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.

2024/08/12adff.png" alt="" width="1920" height="1080" />

Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) Dr H Lalu Sajim Sastrawan, menjelaskan bahwa peresean merupakan bagian integral dari upacara “Kemalik.” Ritual ini diawali dengan prosesi arak-arakan yang biasanya digelar di pesisir pantai atau tepi sungai.

“Dalam prosesi ini, masyarakat membawa ayam hitam dan kambing hitam sebagai persembahan, diiringi dengan bunyi-bunyian yang dipukul dari tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral,” ungkap Lalu Sajim.

Setelah arak-arakan, ritual dilanjutkan dengan doa-doa yang dipanjatkan di pinggir pantai atau sungai. Dalam beberapa kesempatan, tradisi ini juga disertai dengan perang topat (perang ketupat) atau perang timbung (perang bambu), sebelum akhirnya peresean dimulai.

“Kemudian di situ dilaksanakan doa-doa di pinggir pantai dan sungai, kadang-kadang juga dilaksanakan juga perang topat, perang timbung dan lain sebagainya dan ditambah lagi dengan kegiatan-kegiatan peresean,” ujarnya.

Keunikan dari peresean ini adalah, ketika salah satu pepadu mengalami luka dan darahnya menetes ke tanah, masyarakat percaya bahwa hal tersebut adalah tanda bahwa hujan akan segera turun. Tradisi ini diyakini telah menjadi alat komunikasi spiritual antara manusia dan alam, sebuah cara untuk menyeimbangkan energi alam semesta menjelang musim tanam.

Baca Juga :  Tak Kalah, Sejumlah Crosser NTB Naik Podium di Event Motocross Lombok-Sumbawa 2023

“Ketika nanti ada darah menetes dari salah satu peserta perasaan atau bocor, maka sudah selesai (Cop) insya allah sebentar lagi akan turun, itu sebagai sebuah isyarat instrumen yang dipergunakan oleh bangsa sasak untuk meminta hujan menjelang musim tanam, jika panas terik matahari yang sangat luar biasa pada saat itu,” ucapnya.

Seiring berjalannya waktu, peresean mengalami perubahan dalam fungsinya. Kini, peresean lebih dikenal sebagai sebuah atraksi budaya yang sering ditampilkan dalam berbagai acara dan festival di Lombok. Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di wilayah ini, peresean telah menjadi tontonan yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.

“Kalau sekarang peresean ini di jadikan sebagai satu alat kebudayaan, lebih-lebih sekarang di era pariwisata, peresean ini sebagai sebuah tontonan bahkan sekarang ini orang, tidak hanya gandrung saja yang nyawer, ternyata sekarang peresean ini juga bisa berani nyawer,” jelasnya.

Menariknya, tradisi saweran—yang biasanya dilakukan oleh penonton atau pendukung pepadu—kini juga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peresean. Para pepadu yang mampu menunjukkan keterampilan bertarung yang memukau sering kali mendapatkan saweran dari penonton. Semakin hebat aksi seorang pepadu, semakin banyak pula saweran yang diterimanya.

“Semakin bagus pepadu, semakin besar sawerannya,” ujar Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan.

Pepadu, sebutan bagi para petarung dalam peresean, adalah individu yang memiliki keterampilan bertarung dan keberanian yang luar biasa. Uniknya, dalam peresean, tidak ada kriteria khusus untuk memilih lawan.

Baca Juga :  Simak Ini Harga Vanili Organik di Pasar Amerika

“Pepadu siap bertarung dengan siapa saja yang ditunjuk, tanpa memandang ukuran atau kekuatan fisik lawannya. Hal ini mencerminkan sikap ksatria masyarakat Sasak, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberanian dan kejujuran,” tuturnya.

Selain keterampilan bertarung, ada juga kepercayaan bahwa pepadu memiliki ajian-ajian atau ilmu gaib yang memberikan mereka kekuatan tambahan. Selama pertarungan, pepadu diyakini tidak merasakan sakit meskipun dipukul berkali-kali.

“Rasa sakit baru akan terasa setelah mereka pulang dan beristirahat di malam hari,” tegasnya.

Meskipun terlihat seperti pertarungan yang keras, peresean sebenarnya sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan komitmen. Setelah bertarung habis-habisan di arena, para pepadu biasanya saling berpelukan dan bersama-sama pulang tanpa ada dendam di antara mereka. Beberapa di antaranya bahkan duduk bersama untuk menikmati secangkir kopi.

“Ini adalah bentuk perang yang penuh kebahagiaan. Setelah bertarung, mereka saling berpelukan dan melanjutkan kehidupan sehari-hari tanpa rasa dendam,” kata Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan.

Tradisi ini mengajarkan bahwa peresean bukan hanya tentang adu kekuatan fisik, tetapi juga tentang menghargai lawan dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang membuat peresean tetap relevan dan dihormati di tengah-tengah modernisasi yang semakin pesat.

Peresean adalah sebuah tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Sasak. Dari sebuah ritual memohon hujan, peresean kini telah berkembang menjadi atraksi budaya yang menarik bagi banyak orang. Di tengah perubahan zaman, peresean tetap menjadi simbol persaudaraan, keberanian, dan identitas budaya Sasak yang patut dibanggakan.

Bagi masyarakat Sasak, peresean bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga warisan leluhur yang mengandung nilai-nilai luhur. Dengan demikian, tradisi ini harus terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda serta dunia luar, sebagai bagian dari upaya menjaga kekayaan indonesia/">budaya Indonesia yang beragam.

Baca Juga :  Kemenperin Jalin Kerjasama dengan NTB untuk Perkuat Sektor Agroindustri

Peresean dimulai dengan dua pekembar (wasit) mencari calon petarung atau pepadu dari orang-orang yang datang atau sang pepadu sendiri yang mengajukan diri.

Pekembar akan mencari pepadu-pepadu yang seimbang sebelum memulai pertarungan.Pepadu akan menggunakan ikat kepala (sapuq) dan kain pengikat pinggang (bebadong), serta diberi sirih untuk dikunyah. Dalam pertarungan pepadu menggunakan sebilah rotan kira-kira sepanjang satu meter (penjalin) sebagai senjata serta dilengkapi sebuah perisai kayu yang dilapisi kulit sapi atau kerbau, berbentuk bujur sangkar berukuran 50 x 50 cm.

Jalannya pertarungan diiringi gamelan sasak yang terdiri dari tabuhan gendang, suling, gong, dan rincik dalam tempo cepat. Tembang yang dibawakan merupakan tembang khusus peresean yang beraura mistis. Tembang itu biasanya akan mendongkrak semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit akibat sabetan rotan.

Peresean akan dihentikan, apabila salah satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan pekembar. Jika hingga 3-4 ronde kedua pepadu masih sama kuat, pekembar akan menyatakan hasil seri. Selesai pertarungan pepadu tak pernah membawa dendam ke luar arena. Menang atau kalah, seusai bertarung, kedua pepadu pasti bersalaman dan berpelukan. Segalanya dimulai dan selesai di dalam arena.

Bagi para pepadu yang bertarung, tidak mendapatkan hadian seperti piala, melainkan akan mendapat uang dari panitia dan saweran dari para penonton

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *