Internasional

Gejolak Iran–Israel–AS Meningkat: Ancaman Perang yang Mengguncang Ekonomi Global

×

Gejolak Iran–Israel–AS Meningkat: Ancaman Perang yang Mengguncang Ekonomi Global

Sebarkan artikel ini
Gejolak Iran–Israel–AS Meningkat: Ancaman Perang yang Mengguncang Ekonomi Global
Kunjungi Sosial Media Kami

Jurnalekbis.com – Ketegangan geopolitik antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat kembali mencapai titik kritis. Retorika militer yang semakin panas, aksi serangan balasan di kawasan Timur Tengah, serta sanksi ekonomi yang terus diperluas, memicu kekhawatiran global terhadap dampak perang skala luas yang bisa mengancam stabilitas ekonomi dunia.

Dampaknya tidak main-main. Dari harga minyak yang melonjak, gangguan rantai pasok global, hingga volatilitas pasar keuangan, dunia kini dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi yang semakin dalam.

Titik Api Baru di Timur Tengah

Konflik bersenjata antara Iran dan Israel bukanlah hal baru. Namun, dinamika terbaru yang melibatkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung Amerika Serikat, membuat skenario potensi perang terbuka menjadi lebih realistis dibanding sebelumnya.

Setelah serangan udara yang saling dibalas antara milisi pro-Iran di Suriah dan Irak terhadap pasukan AS, serta balasan rudal dari Israel terhadap posisi Iran di Damaskus, suasana politik kawasan Timur Tengah mendidih. Terlebih setelah Iran menuding Israel berada di balik serangan terhadap fasilitas nuklir mereka dan mengancam akan membalas secara langsung.

Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, menyatakan komitmennya untuk membela Tel Aviv. Hal ini memunculkan bayangan konflik militer berskala besar, yang bisa melibatkan koalisi militer NATO dan menyulut perang regional bahkan global.

Dampak Langsung Terhadap Harga Minyak dan Energi

Salah satu dampak paling nyata dari memanasnya konflik Iran–Israel–AS adalah melonjaknya harga minyak dunia. Iran merupakan produsen minyak terbesar keempat dalam OPEC. Sementara itu, kawasan Timur Tengah menjadi jalur distribusi utama minyak global melalui Selat Hormuz, yang setiap harinya dilintasi sekitar 20% pasokan minyak mentah dunia.

Baca Juga :  Houthi Tembak Jatuh F-18 AS, Serang Kapal Induk dan Kota Israel

Jika Iran menutup atau mengganggu arus transportasi di Selat Hormuz, maka efek domino terhadap harga minyak akan sangat besar.

Fakta Terkini:

  • Pada pertengahan Juni 2025, harga minyak jenis Brent melonjak hingga USD 98 per barel, naik hampir 12% dalam sepekan.

  • Minyak mentah jenis WTI tercatat menembus USD 94 per barel, level tertinggi dalam 8 bulan terakhir.

  • Investor mulai melakukan flight to safety ke komoditas energi dan emas, mengantisipasi ketidakpastian berkepanjangan.

Dampak kenaikan harga minyak ini tidak hanya terasa di negara-negara industri, tetapi juga menekan negara berkembang, termasuk Indonesia. Biaya energi meningkat, inflasi berisiko naik, dan subsidi BBM bisa membengkak.

Volatilitas Pasar Keuangan: Dari Wall Street ke Asia

Selain sektor energi, ketegangan ini juga menyeret pasar keuangan global ke dalam pusaran ketidakpastian. Indeks saham utama seperti Dow Jones, S&P 500, dan NASDAQ mengalami pelemahan sejak awal Juni 2025. Investor khawatir konflik akan menekan konsumsi global dan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Dampak Global:

  • Indeks MSCI World turun 3,5% dalam satu pekan terakhir.

  • Nilai tukar USD menguat terhadap mayoritas mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

  • Emas mencetak rekor baru di atas USD 2.400 per troy ounce, menandakan kepanikan investor.

Baca Juga :  Israel Minta GBU-57 ke AS: Bom Raksasa yang Bisa Runtuhkan Nuklir Iran di Fordow

Di kawasan Asia, termasuk Indonesia, bursa saham juga terdampak. IHSG sempat terkoreksi hingga 2% dalam sehari. Investor asing mulai menarik dana dari pasar negara berkembang karena faktor risiko geopolitik.

Gangguan Terhadap Rantai Pasok dan Perdagangan Global

Konflik di Timur Tengah berdampak luas terhadap distribusi logistik global, terutama untuk sektor energi, pangan, dan manufaktur.

Iran merupakan mitra dagang penting bagi sejumlah negara Asia, termasuk Cina dan India. Selain itu, jika konflik meluas dan berdampak pada negara-negara sekitar seperti Irak, Suriah, Yaman, hingga Arab Saudi, maka pasokan bahan baku industri bisa terganggu.

Sanksi tambahan dari Amerika Serikat terhadap Iran juga mempersulit ekspor-impor dari dan ke kawasan tersebut. Akibatnya:

  • Harga pupuk dan petrokimia naik, karena keterbatasan bahan dasar dari Timur Tengah.

  • Industri otomotif dan elektronik yang bergantung pada logam tanah jarang dari kawasan itu mengalami lonjakan biaya produksi.

  • Jalur pelayaran global terganggu, terutama jika kapal dagang harus menghindari rute Selat Hormuz atau Laut Merah.

Indonesia Juga Terdampak: Dari BBM hingga Inflasi

Meski jarak geografis Indonesia cukup jauh dari episentrum konflik, dampaknya tetap terasa langsung dan tidak langsung terhadap ekonomi nasional.

Menteri Keuangan RI dalam pernyataan awal Juni menyebutkan bahwa ketegangan geopolitik ini bisa membuat asumsi harga minyak Indonesia (ICP) melampaui USD 90 per barel, jauh di atas proyeksi APBN 2025.

Dampaknya antara lain:

  • Subsidi energi berpotensi membengkak dan membebani fiskal negara.

  • Inflasi pangan dan transportasi meningkat, terutama di wilayah perkotaan.

  • Daya beli masyarakat tertekan, khususnya kelompok menengah ke bawah.

  • Investasi asing bisa tertahan, karena pelaku pasar menunggu kepastian global.

Baca Juga :  Keunggulan Drone Shahed-136 Iran: Teknologi Militer yang Mendominasi di Era Modern

Bank Indonesia pun mulai mengantisipasi dengan langkah-langkah stabilisasi, termasuk intervensi di pasar valas dan penyesuaian suku bunga jika diperlukan.

Risiko Resesi Global: Bukan Sekadar Ketakutan

Jika konflik terus meluas dan berkepanjangan, banyak ekonom memperkirakan bahwa dunia bisa kembali menghadapi risiko resesi global. Situasinya bahkan bisa lebih buruk dibanding tahun 2020 saat pandemi COVID-19 karena:

  • Ketidakpastian konflik tidak bisa diprediksi.

  • Harga komoditas melonjak, memicu stagflasi.

  • Biaya produksi meningkat tajam.

  • Permintaan global melemah akibat ketidakpastian konsumen dan bisnis.

Lembaga internasional seperti IMF dan World Bank telah mengeluarkan peringatan tentang dampak ekonomi jangka panjang jika konflik Iran–Israel–AS tidak dikendalikan.

Harapan pada Diplomasi dan De-eskalasi

Meski situasi terlihat memanas, banyak negara menyerukan de-eskalasi dan menempuh jalur diplomasi. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa juga mendorong terbentuknya forum dialog multilateral agar krisis tidak berubah menjadi perang terbuka.

Beberapa langkah diplomatik yang sedang dijajaki:

  • PBB berencana mengadakan sidang darurat Dewan Keamanan.

  • Uni Eropa mengusulkan gencatan senjata dan zona aman untuk kawasan strategis.

  • Negara-negara Teluk seperti Qatar dan Oman menjadi penengah antara Iran dan AS.

Namun keberhasilan diplomasi akan sangat tergantung pada kepemimpinan dan komitmen semua pihak untuk menghindari perang terbuka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *