Lombok Timur, Jurnalekbis.com— Setelah insiden jatuhnya tiga pendaki asing dalam kurun waktu berdekatan di rinjani/">Gunung Rinjani, termasuk kematian tragis pendaki asal Brasil, Juliana, Pemerintah akhirnya mengambil keputusan drastis: menutup seluruh jalur pendakian Rinjani untuk umum. Keputusan ini sontak memicu gelombang protes dari para pelaku wisata lokal, terutama tracking organizer (TO), guide, dan porter yang menggantungkan hidup dari aktivitas pendakian.
Tak tinggal diam, mereka pun mengambil langkah konkret. Melalui grup WhatsApp Forum TO Rinjani, para pelaku wisata pendakian itu berinisiatif melakukan pengumpulan dana sukarela guna memperbaiki jalur rawan di kawasan Rinjani. Jalur yang menjadi fokus perbaikan adalah Plawangan menuju Danau Segara Anak, titik yang disebut paling berisiko dan menjadi lokasi beberapa kecelakaan pendaki.
Setelah dana terkumpul, TO dan rekan-rekan lapangan seperti guide, porter, dan bahkan ojek gunung langsung bergerak. Mereka membeli pipa besi dan alat-alat pengaman lain yang dibutuhkan untuk memperkuat jalur pendakian.
“Kami sudah pasang pipa besi di titik-titik berbahaya, khususnya jalur dari Plawangan ke Danau. Perbaikan ini dilakukan murni secara gotong royong,” ujar Rozak, salah satu pengelola TO di wilayah Sembalun. Selasa (22/7).
Langkah gotong royong ini bukan sekadar bentuk solidaritas, tapi juga sinyal kuat dari pelaku wisata Rinjani bahwa mereka siap menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menuntut. Para pelaku wisata berharap perbaikan ini menjadi pertimbangan pemerintah agar jalur pendakian bisa segera dibuka kembali, meski bertahap dan selektif.
Sejak penutupan pendakian, denyut ekonomi di sekitar kawasan Gunung Rinjani nyaris lumpuh total. Rozak menyebutkan bahwa ada lebih dari 200 TO yang berhenti beroperasi, dengan dampak langsung ke ribuan pemandu dan porter yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan harian.

“Bayangkan, guide, porter, pemilik penginapan, tukang ojek, hingga pedagang di kaki Rinjani semuanya terdampak. Penutupan ini membuat kami seperti kehilangan napas,” jelas Rozak.
Bagi masyarakat di lingkar Rinjani, pendakian bukan sekadar aktivitas wisata, melainkan sumber utama penghidupan. Satu trip pendakian bisa melibatkan banyak orang dalam satu rantai kerja: dari operator TO, pemandu, porter, penyedia makanan, hingga ojek gunung dan pemilik warung lokal.
Meski terdampak, pelaku wisata tidak menolak sepenuhnya kebijakan pemerintah. Mereka memahami pentingnya keselamatan pendaki, apalagi setelah serangkaian kecelakaan tragis baru-baru ini. Namun, mereka menolak jika penutupan dilakukan total tanpa mempertimbangkan kondisi lapangan secara spesifik.
“Kami mendukung penataan dan keselamatan. Tapi kami tolak jika semua jalur ditutup. Masih banyak jalur yang aman dan bisa dilalui dengan pengawasan ketat,” kata Rozak.
Ia menyebut jalur-jalur seperti Timbanuh, Aik Berik, dan Senaru sebagian masih layak digunakan dengan standar keamanan yang sudah ada. Penutupan menyeluruh menurutnya tidak adil karena menyamaratakan semua jalur tanpa diferensiasi risiko.
Keputusan penutupan total jalur pendakian Rinjani muncul setelah serangkaian insiden jatuhnya pendaki asing, termasuk kasus tragis yang menimpa Juliana, warga negara Brasil, yang meninggal dunia di lokasi kejadian.
Juliana mengalami patah tulang dan pendarahan hebat setelah jatuh di jalur curam menuju Danau Segara Anak. Meskipun proses evakuasi telah dilakukan oleh tim gabungan, pihak keluarga dan konsulat Brasil sempat menyayangkan prosedur penyelamatan yang dianggap lambat, meski hasil autopsi menunjukkan kematian akibat luka jatuh, bukan keterlambatan penanganan medis.
Tak lama berselang, dua pendaki lain asal Swiss dan Belanda juga mengalami insiden serupa, meski tidak sampai kehilangan nyawa. Rentetan kejadian ini akhirnya membuat pemerintah mengambil sikap tegas dengan menutup seluruh jalur pendakian tanpa batas waktu.