jurnalekbis.com/wp-content/uploads/2023/11/15560013-180x130.jpg" alt="" width="180" height="130" />JE-Lombok Barat- Pulau Lombok tidak hanya terkenal dengan panorama alam yang cukup indah namun juga dengan kaya tradisi dan buaya, yang masih dipertahankan hingga sekarang, salah satunya adalah perang topat (ketupat), sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak yang beragama Islam dan suku Bali yang beragama Hindu yang berada di desa Lingsar kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat. Senin (27/11/2023).
Perang topat adalah simbol perdamaian dan toleransi antara dua agama yang berbeda di Lombok, tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan purnama ke tujuh menurut kalender Sasak, atau sekitar bulan November atau Desember menurut kalender Masehi. Tempat pelaksanaannya adalah Pura Lingsar, sebuah kompleks pura yang berada di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Di dalam kompleks ini terdapat dua bangunan yang disakralkan oleh masing-masing umat, yaitu Pura Gaduh yang menjadi tempat ibadah umat Hindu dan Kemaliq yang menjadi tempat ibadah umat Islam.
Sebelum Perang topat dimulai, ritual diawali dengan upacara persembahyangan di tempat pemujaan masing-masing, selanjutnya suku sasak membawa ketupat yang digunakan untuk berperang dan aneka ragam makanan khas sasak, dibawa ke dalam Kemaliq, untuk di doakan oleh tokoh agama dan tokoh adat desa setempat.
Setelah selesai di doakan, kemudian topat atau ketupat, yang terbuat dari beras dibungkus dengan daun kelapa itu, di bawa ke luar dan dibagikan kepada warga setempat, selanjutnya saling lempar menggunakan topat tersebut.
Salah seorang tokoh budaya sasak, Sahnan mengatakan tradisi perang topat, tidak terlepas dari napak tilas seorang tokoh atau raja di desa setempat, bernama Raden Kerta Jagat atau yang disebut dengan Raja Sumilir atau Kyai Abdul Al Malik, tengah melaksanakan shalat meminta hujan dan kesuburan.
“Raja Sumilir ini sedang Moksa di dalam Kemaliq ini, dan di cari oleh rakyatnya berbekal topat, kemudian setelah mereka menemukan tongkat rajanya, raja ini sedang shalat Istisqa meminta hujan dan peminat kesuburan,” ungkapnya.
Karena hujan mulai turun dan tanaman mereka mulai subur, membuat rakyatnya mencarinya, dengan berbekal topat, topat yang dibawa kemudian dilempar ke sesama warga, bahkan termasuk umat hindu.
“Sehingga dengan gembiranya rakyat saling lempar dengan topat yang dibawanya, itulah yang kita abadikan sehingga sampai sekarang membaur teman-teman kita yang hindu ikut juga mengambil bagian ikut merayakan perayaan perang topat,” jelasnya
Selain itu, banyak warga mengambil topat atau sesajen lainya, di bawa pulang, mereka percaya topat dan sesajen itu, mampu menyuburkan tanaman mereka.
“Itu sebenarnya adalah pemikiran-pemikiran tradisional masyarakat “katanya kalau di gantung topat di pohon-pohon, buah tidak diganggu oleh hama , kenapa karena sudah disiapkan makanan, dia masuk ke topat itu sehingga tidak mengganggu tanaman,” pungkasnya.
Salah seorang warga, Heriyantun mengatakan Topat yang bawa, nantinya akan di di gantung di pohon-pohon miliknya, karena ia percaya pohon yang digantungkan topat, akan berbuah lebat.
“Kita pasang di pohon-pohon biar banyak buahnya dan sawahnya subur,” ucapnya.
Lebih lanjut Heriyantun menyatakan, perayaan perang topat tahun ini, dirasakan jauh berbeda dengan perayaan perang topat tahun lalu, ia mengaku perayaan tahun kurang meriah.
“Saya setiap tahun ikut, tapi kalau sekarang itu tidak seperti tahun dulu lebih meriah , kalau sekarang kurang meriah, karena sekarang kebanyakan anak muda ini main HP, dulu full,” tegasnya.
Perang topat adalah salah satu contoh nyata dari keberagaman dan pluralisme yang hidup indonesia/">di Indonesia. Tradisi ini menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah halangan untuk saling menghormati dan bersahabat. Perang topat adalah tradisi unik yang menjaga kerukunan umat beragama di Lombok.