Opini – Rencana RSUP untuk membangun rumah singgah bagi pasien dan keluarganya sekilas tampak sebagai kebijakan yang humanis. Namun, di balik niat baik tersebut, tersimpan potensi permasalahan besar yang bisa mengancam keberlangsungan dan kredibilitas RSUP di masa depan.
Secara aturan, tidak ada kewajiban bagi rumah sakit pemerintah untuk menyediakan rumah singgah. Tugas utama rumah sakit hanya terbatas pada pelayanan kesehatan. Penyediaan tempat tinggal sementara bagi keluarga pasien, khususnya di dalam atau sekitar rumah sakit, bukanlah tanggung jawab rumah sakit, melainkan ranah Dinas Sosial atau lembaga sosial lainnya. Ketika RSUP memaksakan diri memasuki ranah di luar kewenangannya, maka bukan hanya keluar jalur, tetapi juga mempertaruhkan stabilitas dan profesionalitas institusinya sendiri.
Potensi konflik di rumah singgah bukanlah sekadar asumsi, tetapi telah terbukti di berbagai tempat. Rumah singgah sementara yang ada saat ini justru telah menjadi lahan bagi oknum mahasiswa yang mengatasnamakan pendampingan sosial. Ironisnya, pihak RSUP tidak mampu menangani atau mengambil alih kontrol sepenuhnya. Jika rumah singgah permanen benar-benar dibangun tanpa regulasi ketat dan sistem pengelolaan profesional, maka masalah serupa bahkan berpotensi semakin besar.
Rumah singgah dapat menjadi objek perebutan banyak pihak, mulai dari pegiat sosial, organisasi kemahasiswaan, hingga relawan dadakan yang mengklaim hak atas fasilitas tersebut. Akibatnya, RSUP harus menghadapi berbagai kepentingan yang seharusnya tidak menjadi urusannya jika sejak awal fokus pada tugas intinya: pelayanan medis.

Rumah sakit harus menjadi lingkungan yang steril dan kondusif bagi penyembuhan pasien. Namun, dengan adanya rumah singgah, arus keluar-masuk orang yang tidak berkepentingan medis akan semakin sulit dikendalikan. Kondisi ini dapat mengubah rumah sakit menjadi area publik yang ramai dan bising, mengganggu pasien, tenaga medis, serta masyarakat sekitar.
Jika dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada ketertiban, tetapi juga pada aspek keamanan dan kesehatan. RSUP akan kesulitan menjaga kebersihan, mengontrol risiko penyebaran penyakit, serta memastikan ketenangan yang seharusnya menjadi standar dalam fasilitas kesehatan.
Rumah sakit adalah lembaga pelayanan kesehatan, bukan pusat kegiatan sosial. Segala bentuk program yang dijalankan harus berdasarkan aturan dan kewenangan yang jelas, bukan sekadar memenuhi desakan populis yang sarat kepentingan. Jika RSUP ingin membantu pasien miskin dari luar daerah, solusinya bukan membangun rumah singgah sendiri, melainkan berkoordinasi dengan Dinas Sosial, Pemerintah Daerah, serta lembaga sosial resmi yang memiliki kapasitas dan tupoksi dalam bidang tersebut.
Kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi RSUP. Niat baik tanpa tata kelola yang matang hanya akan menyeret RSUP dalam pusaran konflik sosial, penyalahgunaan kewenangan, serta merusak citra profesional rumah sakit sebagai institusi medis. Sudah saatnya RSUP meninjau ulang rencana ini, menyadari batas kewenangannya, dan kembali fokus pada peningkatan kualitas layanan kesehatan yang profesional, berintegritas, dan taat aturan.
Jangan sampai RSUP hancur oleh kebijakan yang melenceng dari koridor tugas dan fungsinya sendiri.