Mataram, Jurnalekbis.com – Masih rendahnya kesadaran perusahaan dalam mendaftarkan para pekerjanya ke program BPJS Ketenagakerjaan menjadi sorotan serius di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Menurut Kepala BPJS Ketenagakerjaan NTB, Nasrullah Umar, perlindungan sosial ketenagakerjaan tidak hanya penting untuk mendapatkan Bantuan Subsidi Upah (BSU), tetapi juga krusial sebagai bentuk jaminan perlindungan jangka panjang bagi para pekerja, baik dalam sektor formal maupun informal.
“Penting terdaftar sebagai pekerja BPJS Ketenagakerjaan, tidak hanya BSU tetapi ada juga yang lainnya,” ujar Nasrullah. Senin (30/6).
Nasrullah menyoroti fenomena yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, di mana banyak perusahaan baru tergugah untuk mendaftarkan pekerjanya ketika pemerintah menggulirkan program bantuan ekonomi seperti BSU.
Padahal, menurutnya, data penerima bantuan seperti BSU kerap ditarik dari waktu yang sudah ditentukan pemerintah, seperti bulan April. Jika pekerja belum terdaftar pada waktu tersebut, mereka otomatis tidak akan masuk dalam daftar penerima meski kemudian didaftarkan.
“Pada saat ada bantuan, baru banyak perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya. Baru sadar. Tapi kembali lagi bahwa pemerintah menarik data di bulan April sebagai penerima yang layak,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap BPJS Ketenagakerjaan masih bersifat reaktif dan belum menjadi kebijakan strategis di banyak perusahaan, khususnya skala kecil dan menengah di NTB.
Lebih lanjut, Nasrullah menekankan bahwa data milik BPJS Ketenagakerjaan memiliki tingkat akurasi dan integrasi yang tinggi. Seluruh informasi peserta, mulai dari Nomor Induk Kependudukan (NIK) hingga Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sudah terkoneksi dan terdigitalisasi dengan baik.
Hal ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah menggunakan data BPJS sebagai rujukan dalam menyalurkan berbagai bantuan sosial, termasuk BSU. Selain itu, data ini juga memuat informasi penghasilan pekerja, yang penting dalam menentukan kelayakan penerima bantuan.
“Pemerintah sangat berharap seluruh pekerja dan perusahaan sadar akan pentingnya program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan,” imbuhnya.

Meskipun program BPJS Ketenagakerjaan sudah lama digulirkan, partisipasi pekerja formal di NTB ternyata masih sangat rendah. Hal ini menurut Nasrullah menjadi tantangan besar yang membutuhkan kolaborasi aktif dari pemerintah daerah, pelaku usaha, dan lembaga-lembaga terkait.
“Utamanya pekerja formal, karena kalau kita melihat pekerja formal yang baru terdaftar di NTB sangat minim,” katanya.
Pihaknya menyatakan sangat membutuhkan dukungan pemerintah daerah sebagai pemegang regulasi, yang dapat mendorong atau bahkan mewajibkan pengusaha mendaftarkan pekerjanya. Ia menegaskan bahwa tujuan program ini adalah mulia, bukan semata kewajiban administratif.”Kita sangat butuh dukungan pemda. Kalau pekerja ikut saja, yang perlu kita sadarkan itu pengusahanya. Baik secara baik-baik ataupun terpaksa,” ujarnya lugas.
Nasrullah juga memaparkan perhitungan potensi perputaran ekonomi di NTB apabila seluruh pekerja terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Saat ini, dari total 1,2 juta pekerja di NTB, sekitar 30 persen merupakan pekerja penerima upah atau sektor formal, setara dengan sekitar 300 ribu orang.
Namun kenyataannya, hanya sekitar 70 ribu pekerja yang tercatat sebagai penerima BSU, yang berarti masih ada selisih besar dari potensi kepesertaan penuh. Dari jumlah tersebut, tercatat lebih dari Rp200 miliar sudah beredar di NTB melalui penyaluran BSU.
“Seandainya seluruh pekerja terdaftar, potensi uang yang akan beredar bisa lebih dari Rp1 triliun. Ini dampaknya sangat besar untuk perekonomian NTB,” ungkapnya.
Nasrullah juga mengingatkan bahwa BPJS Ketenagakerjaan bukan hanya soal bantuan bersifat sementara seperti BSU. Ada sejumlah program penting yang melekat dalam kepesertaan BPJS, di antaranya: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Kelima program ini menjadi jaring pengaman sosial yang sangat penting, apalagi bagi pekerja dengan risiko kerja tinggi atau tanpa jaminan dari perusahaan.
Guna memperluas cakupan kepesertaan, BPJS Ketenagakerjaan NTB menilai perlunya kebijakan afirmatif dari pemerintah daerah, seperti regulasi yang mewajibkan seluruh perusahaan – termasuk usaha kecil dan menengah – untuk mendaftarkan pekerjanya.
BPJS juga mendorong pendekatan kolaboratif dengan dunia usaha, asosiasi, serta organisasi pekerja guna membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan sosial ketenagakerjaan.
“Kami tidak hanya menyasar pengusaha besar. Justru pengusaha mikro dan kecil yang harus lebih kita rangkul. Karena di sektor ini kesadaran masih sangat minim,” terang Nasrullah.