Mataram, Jurnalekbis.com – Gelombang demonstrasi yang marak di berbagai daerah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir kembali menuai sorotan. Aksi massa yang semula bertujuan menyuarakan aspirasi rakyat justru diwarnai kericuhan, penjarahan, hingga pembakaran fasilitas publik. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), gedung DPRD NTB bahkan ikut menjadi sasaran amuk massa.
Fenomena ini dinilai mencerminkan dua sisi wajah demokrasi Indonesia. Di satu sisi, demonstrasi adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi. Namun di sisi lain, ketika aksi berubah menjadi tindakan anarki, maka tujuan perjuangan rakyat terancam tercoreng.
Ketua PW KAMMI NTB, Irwan, menegaskan bahwa demokrasi seharusnya menjadi ruang sehat untuk menyampaikan kritik, bukan ajang melampiaskan kemarahan. Menurutnya, tindakan anarkis dalam demonstrasi sama saja melukai cita-cita demokrasi itu sendiri.
“Kami memahami demonstrasi adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi. Tetapi ketika aksi berubah menjadi perusakan, maka itu bukan lagi perjuangan, melainkan pengkhianatan terhadap demokrasi. Membakar gedung DPRD, merusak fasilitas umum, sama artinya dengan melukai kita semua,” tegas Irwan, Senin (1/9/2025).
Pandangan senada juga disampaikan Kabid Kebijakan Publik PW KAMMI NTB, Yudistira. Menurutnya, gelombang aksi besar-besaran yang terjadi di berbagai daerah harus dibaca sebagai sinyal kuat adanya keresahan serius di tengah rakyat.

“Aksi di jalanan itu alarm, bukan ancaman. Ia menandakan ada masalah mendasar dalam tata kelola negeri. Pemerintah dan DPR jangan hanya melihat massa sebagai kerumunan yang mengganggu, tetapi sebagai rakyat yang sedang berteriak minta didengar,” jelas Yudistira.
Ia menambahkan, jika alarm keresahan ini terus diabaikan, maka krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan parlemen akan semakin dalam.
Lebih jauh, Yudistira menekankan bahwa demokrasi tidak akan selamat jika ruang kritik dipersempit. Menurutnya, demokrasi justru hanya akan tumbuh sehat jika aspirasi rakyat dihormati dan pemerintah berani melakukan evaluasi atas kebijakan yang dinilai tidak berpihak.
PW KAMMI NTB menilai penyelamatan demokrasi tidak bisa dibebankan hanya pada pemerintah atau aparat negara. Masyarakat yang turun ke jalan juga punya tanggung jawab moral menjaga nilai keadaban, menolak provokasi, dan menghindari tindakan merusak.
Sementara itu, negara wajib membuka ruang keterbukaan dan melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, bukan semata-mata pada kepentingan elit politik.
Irwan menegaskan, momentum gelombang aksi ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan muhasabah. Ia mengingatkan bahwa kritik rakyat harus dijawab dengan keterbukaan, bukan dengan pembatasan.
“Kita meminta pemerintah untuk benar-benar serius mendengar masukan dari masyarakat. Hapus kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat. Ini momentum penting bagi pemerintah untuk berbenah,” tutup Irwan.
PW KAMMI NTB pun mengajak masyarakat untuk kembali ke jalur konstitusional dalam menyampaikan aspirasi, menolak tindakan anarki, serta bersama-sama memperjuangkan wajah demokrasi yang bersih, adil, dan berkeadaban.
