Mataram, Jurnalekbis.com – Kelompok Wanita Tani (KWT) Desa Sugian, Kecamatan Sambelia, lombok-timur/">Kabupaten Lombok Timur, memutuskan untuk berhenti mengekspor hasil pertanian berupa mete mentah ke Taiwan dan Hong Kong. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan bahwa ekspor mete dalam bentuk gelondongan atau mentah tidak memberikan keuntungan yang optimal bagi kelompok tersebut.
Perwakilan dari divisi pemasaran KWT Sugian Handedi, menyatakan bahwa mereka memilih untuk mengakhiri kontrak ekspor ini, karena ekspor mete mentah hanya menguntungkan pihak luar dan tidak memberikan manfaat yang cukup bagi kelompok tani lokal.
“Tahun ini kita akhiri mitra ekspor. Karena ekspor itu minta gelondongan, kalau kita terima, itu tidak ada keuntungan. Selama ini kita ekspor tapi menggunakan bendera orang dengan tujuan ke Taiwan dan Hongkong,” ujar Handedi, Selasa (1/10).
Salah satu alasan utama KWT Sugian memutuskan untuk berhenti mengekspor mete mentah adalah keinginan untuk menambah nilai jual dari hasil pertanian. Mete yang diekspor tanpa diolah tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi para petani, sehingga KWT berupaya mengolah hasil panen tersebut menjadi produk yang siap jual dengan harga lebih tinggi. Selain itu, dengan mengolah sendiri hasil pertanian, KWT Sugian juga menciptakan lapangan kerja bagi anggotanya, yang mayoritas merupakan perempuan di desa tersebut.

“Hal ini beda visi misi dengan KWT, tujuannya kita untuk menambah nilai jual dan pemberdayaan. Kalau kita kasih ke pihak kedua, semuanya habis. Jadi anggota KWT tidak ada kerjaan,” terang Handedi.
Dalam setiap musim panen, jumlah mete yang dihasilkan cukup besar. Pada satu kali panen, KWT Sugian mampu menghasilkan hingga dua truk mete dengan total berat sekitar 15 ton. Namun, setelah disortir, hanya mete berkualitas tinggi (grade A) yang layak diekspor.
“Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam proses ekspor melalui pihak ketiga dinilai tidak menguntungkan KWT secara maksimal,” ungkap Handedi.
Harga mete di tingkat petani saat ini masih tergolong tinggi, yakni mencapai Rp25.000 per kilogram, terutama ketika sedang dalam masa panen. Pada masa panen yang lebih murah, harga mete bisa turun hingga Rp9.000 hingga Rp10.000 per kilogram. Kondisi ini membuat persaingan semakin ketat, terutama dengan kehadiran pengepul dari luar daerah, seperti Jawa, yang langsung membeli mete dari petani lokal. Kehadiran pengepul ini meningkatkan harga beli di tingkat petani, namun juga menimbulkan tantangan bagi KWT Sugian untuk mendapatkan bahan baku dalam jumlah yang cukup.
“Saingannya dari Jawa langsung ke petani. Seperti kemarin yang memborongnya langsung datang, tapi kita tidak mau seperti itu. Jadi harus diolah supaya punya penghasilan, makanya kita mendorong pengolahan itu,” tambah Handedi.
KWT Sugian telah lama mengekspor mete mentah ke luar negeri, namun aktivitas ini dilakukan melalui perantara dengan menggunakan nama pihak ketiga. Mete yang diekspor dalam bentuk gelondongan tidak memberikan keuntungan signifikan bagi KWT.
