Matara, Jurnalekbis.com- Provinsi Nusa Tenggara Barat (2024/08/10/peluang-baru-disprin-dorong-olahan-udang-vaname-jadi-produk-ekspor/" target="_blank" rel="noopener">NTB) kini tengah memasuki fase kritis musim kemarau pada dasarian I Agustus 2024. Kondisi ini ditandai dengan curah hujan yang semakin menurun dan peningkatan risiko kekeringan di berbagai wilayah. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Nusa Tenggara Barat melaporkan bahwa curah hujan di wilayah NTB berada pada kategori rendah hingga menengah, yaitu antara 0 hingga 100 mm per dasarian.
Curah hujan tertinggi tercatat di pos hujan Kempo, Kabupaten Dompu, dengan total 82 mm per dasarian. Namun, sebagian besar wilayah lainnya mengalami curah hujan yang jauh lebih rendah, mengindikasikan bahwa risiko kekeringan terus meningkat, terutama di daerah yang telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) yang panjang.
Monitoring HTH di NTB menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah berada dalam kategori pendek, yaitu 6 hingga 10 hari tanpa hujan. Namun, ada wilayah-wilayah tertentu yang mengalami HTH jauh lebih lama. Contohnya, Pos Hujan Belo dan Pos Hujan Palibelo di Kabupaten Bima, yang tercatat mengalami 106 hari tanpa hujan. Ini merupakan indikasi kuat bahwa wilayah tersebut sangat rentan terhadap kekeringan, yang dapat berdampak serius pada sektor pertanian dan ketersediaan air bersih bagi masyarakat.
ENSO (El Niño-Southern Oscillation) merupakan salah satu fenomena iklim global yang memiliki pengaruh signifikan terhadap cuaca indonesia/">di Indonesia, termasuk NTB. Hasil monitoring terbaru menunjukkan bahwa indeks ENSO saat ini berada pada kondisi netral dengan nilai +0.115. Meski demikian, BMKG memprediksi bahwa ENSO berpotensi menuju fase La Nina mulai Agustus hingga Oktober 2024. La Nina dapat membawa dampak peningkatan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia, namun di NTB, hal ini perlu diwaspadai karena perubahan pola hujan dapat memperparah kondisi kekeringan di beberapa daerah.
Selain ENSO, anomali Suhu Permukaan Laut (SST) di Samudera Hindia juga diawasi melalui Indeks Dipole Mode (IOD). Saat ini, IOD berada pada kondisi netral dengan nilai +0.46 dan diprediksi akan tetap netral hingga Januari 2025. Kedua indikator ini penting untuk dipantau, karena perubahan signifikan dapat mempengaruhi pola curah hujan di NTB.
MJO (Madden-Julian Oscillation) adalah fenomena atmosfer yang mempengaruhi curah hujan di wilayah tropis. Pada dasarian I Agustus 2024, MJO diprediksi tidak aktif di wilayah NTB. Namun, gelombang atmosfer Equatorial Rossby diprediksi aktif, yang dapat meningkatkan potensi pembentukan awan hujan. Meskipun demikian, potensi hujan yang dihasilkan diperkirakan tidak signifikan untuk mengurangi ancaman kekeringan yang sudah terjadi.
BMKG memprediksi bahwa pada dasarian II Agustus 2024 (11-20 Agustus 2024), potensi hujan di seluruh wilayah NTB sangat rendah. Potensi hujan dengan intensitas ringan hingga sedang (>20mm per dasarian) hanya memiliki peluang kejadian kurang dari 10%. Ini menandakan bahwa kekeringan meteorologis yang sedang berlangsung akan semakin meluas dan memerlukan tindakan preventif dari masyarakat.
Berdasarkan hasil monitoring, analisis, dan prediksi curah hujan dasarian, BMKG mengeluarkan peringatan dengan tiga tingkat risiko kekeringan di NTB:
- Level Waspada: Tidak ada wilayah yang masuk dalam kategori ini pada dasarian I Agustus 2024.
- Level Siaga: Kecamatan Lambitu di Kabupaten Bima.
- Level Awas: Kecamatan Swela di Lombok Timur, serta Kecamatan Belo dan Palibelo di Kabupaten Bima.
Wilayah-wilayah yang masuk dalam kategori Siaga dan Awas ini harus meningkatkan kewaspadaan dan segera melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi dampak kekeringan.
Masyarakat NTB dihimbau untuk lebih bijak dalam menggunakan air. Penggunaan air secara efektif dan efisien menjadi kunci dalam menghadapi periode kekeringan ini. Hindari pemborosan air, terutama di daerah yang sudah teridentifikasi mengalami kekeringan. Selain itu, masyarakat juga perlu waspada terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi selama musim kemarau panjang.
Pemanfaatan penampungan air seperti embung, waduk, atau penampungan air hujan lainnya sangat dianjurkan, terutama di wilayah-wilayah yang sering mengalami kekeringan. Langkah ini dapat membantu memastikan ketersediaan air bersih selama musim kemarau yang masih berlangsung.