Mataram, Jurnalekbis.com – I Wayan Agus Suartama, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Agus Buntung, tersangka kekerasan/">kasus kekerasan seksual, membuat kericuhan saat akan dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Lombok Barat. Agus histeris ketika hendak ditahan, bahkan agsu sempat sujud kepada kepala Kajarai Mataram, agar dirinya ditahan di rumahnya, sehingga kedua orang tuanya yang hadir untuk menemani ke Kejaksaan Negeri Mataram berusaha menenangkan putra mereka. Kamis (9/1).
Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Ivan Jaka M.W., menjelaskan bahwa proses penyerahan tahap dua telah dilakukan oleh Polda NTB kepada Kejaksaan Negeri Mataram. Proses ini melibatkan tersangka Agus Buntung dan barang bukti yang terkait dengan kasus tersebut.
“Penyerahan tersangka dan barang bukti dari Polda NTB kepada Kejaksaan Negeri Mataram atas nama tersangka I Wayan Agus Suartama atau Agus Buntung telah dilakukan. Penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHP, dan yang bersangkutan akan ditahan di Rutan Lapas Kelas II A Lombok Barat,” ujar Ivan Jaka.
Ivan menambahkan bahwa keputusan penahanan telah memenuhi aspek hukum berdasarkan hasil kajian dari empat ahli, yaitu visum, psikolog, forensik, dan psikolog kriminal. Para ahli ini berasal dari Universitas Mataram (Unram), Universitas Indonesia (UI), hingga Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Tersangka juga telah memenuhi syarat objektif dan subjektif untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku,” tambahnya.

Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, proses hukum yang melibatkan ahli dari berbagai bidang bertujuan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. “Kami melibatkan ahli visum, psikologi, dan forensik untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan transparan dan adil,” ujar Ivan Jaka.
Penanganan tersangka penyandang disabilitas seperti Agus Buntung memerlukan perhatian khusus. Lapas Kelas II A Lombok Barat diharapkan memiliki fasilitas yang mendukung kebutuhan penyandang disabilitas agar tersangka tetap dapat menjalani proses hukum dengan layak.
Saat proses penyerahan, Agus Buntung terlihat panik dan histeris. Ia terus berteriak, mencerminkan kondisi psikologisnya yang terganggu. Menurut keterangan kuasa hukum Agus, Kurniadi, kondisi tersebut disebabkan oleh keterbatasan fisik dan psikologis yang dialami tersangka sejak lahir.
“Lihat sendiri, Agus teriak-teriak itu dampak psikologis. Agus ini membayangkan dirinya di dalam lapas, sementara ia bergantung penuh pada ibunya untuk kebutuhan dasar seperti makan, mandi, hingga buang air. Kekhawatiran ini sangat memengaruhi mentalnya,” jelas Kurniadi.
Ia juga menekankan bahwa Agus adalah penyandang disabilitas, sehingga penempatan di lapas umum dinilai tidak sesuai. “Pada prinsipnya, kami apresiasi Polda NTB yang sebelumnya memberikan tahanan rumah. Namun, saya khawatir jika ia ditempatkan di lapas tanpa fasilitas khusus yang memadai untuk penyandang disabilitas,” tambahnya.
Meski Agus Buntung telah ditetapkan sebagai tersangka, Kurniadi mengingatkan bahwa asas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi.
“Oke, Agus ini terduga pelaku, tetapi kita harus tetap melihat bahwa ia belum dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan. Proses hukum harus tetap berjalan dengan memperhatikan kondisi tersangka,” tegas Kurniadi.
Kasus kekerasan seksual seperti yang melibatkan Agus Buntung sering kali menjadi sorotan publik karena kompleksitasnya. Selain menghadapi proses hukum yang panjang, kasus semacam ini juga melibatkan berbagai aspek, termasuk kondisi psikologis korban dan tersangka.