jurnalekbis.com/tag/1/">1-5:370">Jurnalekbis.com – Hari ini, 11 April 2025, Kabupaten Dompu genap berusia 210 tahun. Sebagai putra daerah, hati saya bergetar mengucapkan Dirgahayu tanah kelahiran tercinta. Tanah yang membesarkan saya dengan keindahan alamnya yang memukau, kekayaan budayanya yang luhur, dan yang terpenting, falsafah hidup yang mendalam: Nggahi Rawi Pahu – apa yang diucapkan, itulah yang dikerjakan.
Semboyan ini bukan sekadar rangkaian kata indah yang dilafalkan dalam seremoni. Ia adalah inti dari karakter dan integritas masyarakat Dompu. Sebuah janji moral yang turun temurun: ucapan adalah ikrar, janji adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Namun, di usia Dompu yang telah melampaui dua abad satu dekade ini, kita patut berhenti sejenak dan mengajukan pertanyaan mendasar: sejauh mana “Nggahi Rawi Pahu” benar-benar menjiwai kepemimpinan dan menjadi landasan kokoh dalam setiap gerak pembangunan daerah?
Kita tak bisa menyangkal anugerah yang tercurah di atas tanah Dompu. Potensi wisata kelas dunia seperti Pantai Lakey yang memikat para peselancar, serta keajaiban geologis Gunung Tambora yang kini berstatus Geopark Internasional, adalah aset tak ternilai yang tak dimiliki banyak daerah. Belum lagi kekayaan sejarah, keunikan budaya, serta limpahan sumber daya alam seperti eksotisme Doro Ncanga, khasiat susu kuda liar, potensi rumput laut dan mutiara yang menjanjikan, hingga kandungan pertambangan tembaga yang menggiurkan. Semua ini seharusnya mampu menempatkan Dompu sebagai bintang di Nusa Tenggara Barat, bahkan mercusuar kemajuan di kawasan Indonesia Timur.
Di sektor agraris, Dompu memiliki fondasi yang kuat pada komoditas jagung dan tebu, diperkuat dengan kehadiran PT. Sukses Mantap Sejahtera (SMS) yang diharapkan menjadi motor penggerak. Sektor perikanan pun menyimpan potensi budidaya laut yang luar biasa. Dengan air yang melimpah, lahan yang luas, dan iklim yang mendukung, Dompu seharusnya menjadi surga tak bertepi bagi pertumbuhan ekonomi rakyatnya.
Namun, ironi pahit justru tersembunyi di balik gemerlap potensi ini. Data per Maret 2023 mencatat angka kemiskinan Dompu yang mencapai 12,62% atau sekitar 34,38 ribu jiwa. Sebuah kenaikan yang mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan Maret 2021 yang hanya 12,40%. Di tengah potensi yang terus didengungkan, angka kemiskinan justru merangkak naik. Sebuah kontradiksi yang menyesakkan!
Lebih jauh lagi, angka pengangguran terselubung masih menjadi momok, meskipun partisipasi angkatan kerja menunjukkan peningkatan menjadi 70,76% pada tahun 2022. Sebagian besar penduduk kita masih berkutat di sektor informal, pekerjaan yang rentan tanpa jaminan perlindungan sosial yang memadai.
Lantas, pertanyaan mendasar kembali mengemuka: siapa sebenarnya yang menikmati limpahan potensi Dompu? Siapa yang benar-benar merasakan manisnya buah pembangunan ini?
Pemerintah daerah mungkin berbangga dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dompu yang pada tahun 2024 telah mencapai 72,59 poin, masuk dalam kategori “tinggi”. Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah kualitas hidup yang layak benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat di pelosok Dompu? Bagaimana dengan akses air bersih yang masih menjadi keluhan di beberapa kecamatan? Bagaimana kualitas pendidikan di desa-desa terpencil, atau pemerataan layanan kesehatan yang masih jauh dari ideal?
Kita harus belajar bahwa pembangunan sejati tidak hanya diukur dari deretan angka statistik yang memukau, tetapi dari sejauh mana keadilan sosial merata di seluruh lapisan masyarakat. Jangan sampai IPM yang tinggi hanya menjadi kebanggaan segelintir orang di pusat kota, sementara mayoritas rakyat kecil tetap berjuang dengan hasil tani dan laut yang harganya tak menentu, terombang-ambing oleh mekanisme pasar yang seringkali tak berpihak pada mereka.
Pemerintah daerah tidak seharusnya lagi terlena dalam euforia proyek fisik semata dan obsesi pencitraan sesaat. Era kekinian menuntut hadirnya kepemimpinan yang berani mengambil langkah-langkah reformis yang mendasar: memperbaiki tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, memberantas praktik birokrasi feodal yang menghambat kemajuan, menindak tegas setiap bentuk penyimpangan dan praktik korupsi, serta membangun kemitraan yang sehat dan partisipatif dengan rakyat.
210 tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika selama ini ada janji-janji pembangunan yang tak kunjung terealisasi, inilah saatnya untuk melakukan koreksi total. Jika selama ini pembangunan hanya dijalankan atas dasar proyek dan keuntungan segelintir pihak, kini saatnya menempatkan keadilan sosial sebagai jantung dari setiap kebijakan dan program pembangunan.
Mari kita bersama-sama mendorong agar falsafah luhur “Nggahi Rawi Pahu” tidak hanya menjadi hiasan pidato seremonial saat upacara hari jadi Dompu, tetapi benar-benar menjelma menjadi kompas moral yang membimbing setiap langkah dalam menyusun kebijakan dan mengelola pembangunan daerah. Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya piawai dalam merangkai kata-kata indah, tetapi juga memiliki keberanian untuk bertindak nyata demi kesejahteraan rakyat Dompu secara keseluruhan.
Dompu memiliki modal alam yang melimpah, kekayaan budaya yang tak ternilai, dan semangat juang rakyatnya yang membara. Namun, semua modal itu akan sia-sia jika tidak dikelola dengan integritas, visi yang jelas, dan yang terpenting, komitmen yang ditepati.
Saya percaya, Dompu memiliki potensi yang jauh lebih besar dari kondisi saat ini. Asalkan kita semua berani merawat amanah yang telah diberikan, bersatu padu dalam kerja nyata yang tulus, dan tidak pernah mengkhianati nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu”.
Dirgahayu Kabupaten Dompu ke-210. Mari kita wujudkan Dompu yang benar-benar adil, sejahtera, dan bermartabat. Bukan hanya karena kita lantang mengucapkannya, tetapi karena kita benar-benar mengerjakannya.