jurnalekbis.com/tag/1/">1-5:348">Jakarta, Jurnalekbis.com – Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali memanas dan memasuki babak yang lebih sengit. Aksi saling balas menaikkan tarif impor barang dagangan kini menjadi jurus utama yang dipertontonkan kedua negara, mengancam stabilitas perdagangan global dan memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha.
Presiden AS Donald Trump tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda puas dalam menekan China melalui kebijakan tarif. Setelah sebelumnya memberlakukan tarif tinggi hingga 125 persen untuk sejumlah komoditas impor asal Negeri Tirai Bambu, kini Gedung Putih kembali mengumumkan kenaikan tarif yang lebih fantastis, mencapai 145 persen.
Mengutip laporan New York Times pada Jumat (11/4/2025), pemerintahan Donald Trump secara resmi mengonfirmasi langkah agresif ini. Kenaikan tarif impor terbaru sebesar 145 persen ini diberlakukan untuk berbagai jenis barang impor dari China, semakin memperberat posisi para importir dan konsumen di AS.
Langkah ini diambil Trump sebagai respons atas tindakan balasan China yang tidak tinggal diam dan turut menaikkan tarif impor untuk produk-produk AS yang masuk ke negaranya. Eskalasi ini menunjukkan betapa alot dan sengitnya perseteruan dagang antara kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Sebelumnya, Trump telah beberapa kali menaikkan tarif impor untuk barang-barang asal China yang masuk ke AS. Dimulai dari kenaikan sebesar 34 persen, kemudian melonjak menjadi 84 persen, hingga akhirnya mencapai 125 persen. Setiap kenaikan tarif ini bertujuan untuk menekan China agar mengubah praktik perdagangan yang dianggap tidak adil oleh AS.
Tak berselang lama, pemerintah China merespons setiap langkah AS dengan kebijakan serupa. Beijing memutuskan untuk membalas dengan kenaikan tarif impor yang setara untuk produk-produk AS yang masuk ke China. Mulai dari kenaikan 34 persen menjadi 84 persen, hingga mencapai 125 persen sebagai bentuk pembalasan langsung terhadap tindakan AS.
Perlu dicatat bahwa angka tarif 145 persen yang baru diumumkan oleh AS ini sebenarnya baru merupakan batas bawah, bukan batas atas. Jumlah tersebut merupakan tambahan dari berbagai pungutan lain yang telah lebih dulu diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump atas beberapa produk impor strategis China seperti baja, aluminium, mobil, serta suku cadang kendaraan. Ini berarti, biaya impor barang-barang China ke AS kini semakin mahal dan tidak terprediksi.
Kebijakan tarif yang berubah-ubah dengan cepat dan cenderung terus meningkat ini justru menimbulkan kepanikan dan kebingungan di kalangan pelaku industri AS sendiri. Banyak perusahaan di Negeri Paman Sam, termasuk para pengecer besar dan usaha-usaha kecil, sangat bergantung pada pasokan produk-produk dari China untuk menjaga kelangsungan bisnis mereka.
Bagi seorang importir yang secara rutin membawa minimal satu kontainer produk dari China, perbedaan tarif antara 125 persen dan 145 persen dapat mengakibatkan kerugian finansial yang sangat signifikan, mencapai ribuan hingga puluhan ribu dolar AS untuk setiap pengiriman. Kondisi ini memaksa para importir untuk menanggung biaya yang lebih tinggi, yang pada akhirnya berpotensi diteruskan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang.
Pemerintah China tidak tinggal diam melihat tindakan sepihak AS ini. Beijing mengecam keras kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump, menuding AS secara sengaja mengganggu tatanan perdagangan global dan bahkan melanggar sejumlah aturan perdagangan internasional yang telah disepakati oleh banyak negara.
“Pemberlakuan tarif yang sangat tinggi oleh AS terhadap China secara serius melanggar aturan perdagangan internasional dan ekonomi, hukum ekonomi dasar, dan akal sehat, serta merupakan intimidasi dan pemaksaan sepihak,” tulis keuangan/">Kementerian Keuangan China dalam pernyataan resminya, seperti dilansir oleh Reuters.
Beijing menegaskan bahwa pemerintahannya akan mengambil sikap tegas dalam menghadapi tindakan sewenang-wenang Donald Trump dalam kebijakan perdagangan. Bahkan, China menyatakan kesiapannya untuk “berjuang sampai titik darah penghabisan” demi melindungi kepentingan nasionalnya.
“Jika AS bersikeras melanjutkan permainan angka ini dengan tarif, China tidak akan terlibat. Namun, jika AS terus-menerus merugikan kepentingan China, China akan dengan tegas mengambil tindakan balasan dan berjuang sampai akhir,” demikian bunyi pernyataan keras dari Kementerian Keuangan China.
Di sisi lain, Menteri Keuangan AS Scott Bessent justru melontarkan tudingan balik kepada China. Bessent mengklaim bahwa China berselisih dengan banyak negara di dunia karena pemerintahan Presiden Donald Trump justru mengurangi tarif untuk semua negara kecuali Negeri Tirai Bambu tersebut.
“China adalah ekonomi yang paling tidak seimbang dalam sejarah dunia modern,” ujar Bessent kepada wartawan, seperti dikutip dari Fox Business.
“Mereka (China) adalah sumber terbesar masalah perdagangan AS, dan memang mereka adalah masalah bagi seluruh dunia,” jelasnya dengan nada defensif.
Menurut Bessent, pemerintah AS siap untuk meladeni setiap aksi pembalasan tarif impor dari China. Ia menilai bahwa China terlalu “egois” dibandingkan dengan banyak negara lain yang cenderung melunak terhadap kebijakan tarif yang diterapkan oleh Donald Trump.
“Saya tidak menyebutnya perang dagang, tetapi saya pikir China telah meningkat (egonya), dan Presiden Trump menanggapinya dengan sangat berani, dan kami akan mencari solusi dengan mitra dagang kami,” kata Bessent.
Sebaliknya, Bessent mengklaim bahwa lebih dari 75 negara telah menghubungi pemerintahan Trump untuk menjalin kerja sama dalam menyusun solusi perdagangan yang lebih adil. Ia berharap akan semakin banyak negara yang melakukan hal serupa, menunjukkan bahwa AS berusaha membangun aliansi dalam menghadapi China.
Eskalasi perang tarif antara AS dan China ini tentu menimbulkan kekhawatiran besar bagi stabilitas ekonomi global. Kenaikan tarif yang terus-menerus dapat mengganggu rantai pasokan global, meningkatkan biaya produksi, dan pada akhirnya memicu inflasi di berbagai negara. Ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan juga dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Ancaman “perang sampai akhir” yang dilontarkan oleh China menunjukkan bahwa perseteruan ini kemungkinan akan terus berlanjut dan bahkan semakin dalam. Jika kedua negara tidak segera menemukan titik temu dan kembali ke meja perundingan, dampaknya terhadap perekonomian global bisa sangat merugikan.
Para pelaku usaha di seluruh dunia kini harus bersiap menghadapi era perdagangan internasional yang penuh dengan ketidakpastian dan proteksionisme. Kebijakan tarif yang berubah-ubah dan potensi pembalasan yang lebih keras menuntut adanya strategi adaptasi yang cepat dan tepat untuk meminimalkan risiko kerugian.