Jakarta, Jurnalekbis.com – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 diperkirakan menunjukkan perlambatan, dengan proyeksi angka sebesar 4,91 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02 persen, serta pertumbuhan pada kuartal I-2024 yang mencapai 5,11 persen. Proyeksi ini sejalan dengan berbagai indikator ekonomi terkini yang mengisyaratkan adanya tekanan baik dari dalam negeri maupun eksternal.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa perlambatan ini merupakan cerminan dari beberapa faktor kunci. “Secara keseluruhan, proyeksi pertumbuhan kuartal I-2025 sebesar 4,91 persen mencerminkan kombinasi dari konsumsi yang masih solid namun melemah, belanja pemerintah yang tertahan, serta investasi dan ekspor yang belum sepenuhnya pulih akibat tekanan global,” jelas Josua dalam keterangannya pada Minggu (4/5/2025).
Lebih detail, Josua memaparkan bahwa konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperkirakan tumbuh melambat. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diproyeksikan hanya mencapai 4,5 persen secara year on year (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan 4,91 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan yang lebih signifikan terlihat pada belanja pemerintah. Pada kuartal I-2025, belanja pemerintah diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -2,88 persen yoy. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kuartal I-2024 yang mencatatkan pertumbuhan belanja pemerintah yang sangat tinggi, yakni sebesar 20,44 persen.
“Hal ini tercermin dalam realisasi APBN hingga Maret 2025 yang mencapai 17,1 persen dari pagu belanja tahunan,” kata Josua, mengindikasikan bahwa penyerapan anggaran belanja pemerintah pada awal tahun ini belum optimal.
Di sisi lain, komponen investasi menunjukkan stabilitas. Pertumbuhan investasi pada kuartal I-2025 diperkirakan sebesar 3,11 persen yoy, relatif stabil dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini ditopang oleh realisasi investasi riil yang tercatat meningkat 15,9 persen yoy pada kuartal I-2025, mencapai Rp 465,2 triliun. Angka ini memberikan sinyal positif bahwa minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia masih terjaga.
Sektor ekspor barang dan jasa menjadi salah satu penopang pertumbuhan yang cukup kuat. Pada kuartal I-2025, ekspor diperkirakan tumbuh sebesar 9,52 persen yoy, melanjutkan tren positif yang didorong oleh kebijakan hilirisasi dan ekspor produk manufaktur dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun, pertumbuhan ekspor ini diiringi oleh kenaikan impor sebesar 5,07 persen yoy, yang menurut Josua mencerminkan permintaan domestik yang belum pulih sepenuhnya.

Lebih lanjut, Josua Pardede menyoroti adanya ketidakpastian eksternal yang dapat menjadi risiko bagi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek. “Ketidakpastian eksternal, khususnya tarif impor Amerika Serikat dan prospek perlambatan global, menambah risiko terhadap outlook jangka pendek serta pertumbuhan ekonomi,” terangnya.
Menghadapi tantangan ini, Josua menekankan pentingnya koordinasi kebijakan antara moneter dan fiskal. “Dalam konteks ini, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan mendorong pemulihan permintaan domestik di kuartal-kuartal berikutnya,” pungkasnya.
Senada dengan Josua, Koordinator Analis Laboratorium Indonesia 45, Reyhan Noor, menilai bahwa pertumbuhan ekonomi domestik masih terpengaruh oleh upaya pemerintah dalam melakukan re-alokasi anggaran dari efisiensi ke program-program prioritas yang implementasinya belum maksimal.
“Pertumbuhan ekonomi domestik masih terganggu oleh upaya re-alokasi dari efisiensi ke program prioritas yang belum dapat terlaksana dengan maksimal,” ujar Reyhan.
Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis yang diharapkan dapat memberikan efek berganda terhadap perekonomian, namun implementasinya dinilai belum optimal dalam mendongkrak konsumsi. Di sisi lain, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah必然 menyebabkan penurunan pada komposisi belanja negara.
Reyhan juga menyoroti dampak ketidakpastian ekonomi global, terutama kebijakan tarif impor Amerika Serikat, terhadap investasi di Indonesia. “Meskipun perekonomian ekonomi Indonesia tidak banyak bergantung terhadap perdagangan internasional, ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat akan mempengaruhi realisasi komponen investasi sekitar 30 persen,” jelasnya.
Selain itu, aspek konsumsi yang berkontribusi signifikan terhadap PDB (sekitar 54 persen) juga tertekan oleh kenaikan harga dan tantangan di pasar tenaga kerja. “Aspek konsumsi sebesar 54 persen dengan adanya kenaikan harga serta pekerjaan yang semakin sulit,” kata Reyhan.
Untuk mengatasi perlambatan ini, Reyhan menekankan perlunya kebijakan pemerintah yang lebih terarah, terkoordinasi, dan dikomunikasikan dengan jelas.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengurangi ketidakpastian tersebut dimulai dari kebijakan yang terarah, terkoordinasi, dan dikomunikasikan dengan jelas,” tegasnya.
Hal ini termasuk dalam konteks negosiasi tarif perdagangan dengan Amerika Serikat agar tidak berdampak negatif terhadap hubungan dagang dengan negara lain dan daya saing dunia usaha dalam negeri. “Hal tersebut termasuk dalam konteks negosiasi tarif perdagangan dengan Amerika Serikat yang jangan sampai berdampak terhadap hubungan dagang dengan negara lainnya dan daya saing dunia usaha dalam negeri,” pungkas Reyhan.