Mataram, Jurnalekbis.com – Viral pengakuan warga yang mengaku harus membayar parkir hingga Rp360 ribu meski hanya beberapa menit, mendapat respon dari DPRD NTB. Ketua Komisi IV DPRD NTB, Hamdan Kasim, menyebut persoalan ini sudah masuk ranah kriminal dan mendesak audit menyeluruh serta tindakan hukum tegas terhadap pihak pengelola parkir.
Kasus ini bukan lagi sekadar keluhan biasa. Masyarakat menilai tarif yang dikenakan melalui sistem pembayaran digital di bandara sudah tidak wajar dan cenderung merugikan, bahkan ada indikasi kuat terjadinya penipuan sistematis oleh pihak ketiga yang mengelola parkir. Lebih jauh, dugaan itu diperkuat dengan bukti transaksi mencurigakan yang menggunakan nama merchant “Parkee” yang terdaftar di Jakarta Barat, jauh dari lokasi bandara yang berada di Praya, Lombok Tengah.
Ketua Komisi IV DPRD NTB, Hamdan Kasim, tak menutupi kekesalannya saat menanggapi polemik tersebut. Hamdan menyebut bahwa Angkasa Pura I sebagai pengelola utama bandara harus bertanggung jawab penuh atas kasus ini, sekalipun pengelolaan parkir diserahkan kepada pihak ketiga.
“Ini bukan lagi soal keluhan biasa. Sudah ada bukti nyata dan diberitakan media. Karena itu saya mendorong Angkasa Pura I untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap pengelola parkir di Bandara Lombok,” tegas Hamdan. Sabtu (29/6/2025),
Menurutnya, apabila dugaan kecurangan terbukti, maka kontrak kerja sama harus dievaluasi total, bahkan dihentikan. Ia juga menyarankan agar pihak ketiga tersebut diganti dengan pelaku usaha lokal yang lebih transparan, akuntabel, dan mudah diawasi.
“Kalau sudah terbukti seperti ini, terang benderang. Jangan dipertahankan lagi. Ganti saja dengan pengusaha lokal kalau bisa. Kita harus beri ruang juga untuk pelaku usaha daerah yang lebih bisa dikontrol,” lanjutnya.
Kemarahan publik mencuat usai pernyataan Ahmad Yani, warga Lombok Barat, yang mengungkapkan pengalaman janggal saat parkir di Bandara Lombok. Peristiwa itu terjadi pada Jumat malam (28/6), saat ia menjemput keluarganya di area kedatangan.

Yani memanfaatkan pembayaran digital QRIS, tetapi jumlah tagihan yang muncul sangat mengejutkan: Rp360.000, padahal ia hanya parkir kurang dari satu jam.
“Harusnya cuma Rp7.500. Tapi pas bayar, muncul angka Rp360 ribu. Petugas parkir juga bingung dan bilang itu karena sistem. Saya tanya apakah uangnya bisa dikembalikan, katanya harus buat laporan dulu,” ungkap Yani.
Yang lebih mencurigakan, transaksi tersebut tercatat atas nama merchant “Parkee”, bukan atas nama resmi pengelola parkir bandara. Lokasi merchant itu pun mengarah ke Jakarta Barat, bukan NTB. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan integritas sistem yang digunakan.
Ahmad Yani bukan satu-satunya korban. Seorang warga lainnya, Narsuddin, juga mengaku pernah membayar tarif parkir ratusan ribu rupiah meski hanya berhenti sebentar. Ia tidak pernah menyangka sistem digital yang seharusnya memudahkan justru menjadi “jebakan” yang merugikan konsumen.
Hamdan pun menyoroti hal ini sebagai indikasi bahwa praktik curang sudah terjadi secara masif dan tak menutup kemungkinan telah merugikan ratusan pengguna lainnya.
“Kalau satu dua orang saja sudah bisa sampai ratusan ribu rupiah, bayangkan kalau ini terjadi ke puluhan atau ratusan pengguna lainnya. Ini sangat berbahaya. Saya tegaskan, ini masuk ranah kriminal dan harus dilaporkan ke aparat penegak hukum (APH),” tegasnya.
Melihat situasi yang kian serius, Hamdan Kasim mendesak agar kontrak kerja sama parkir dievaluasi total. Ia mendorong agar pengelolaan parkir bandara diserahkan kepada pengusaha lokal yang dapat memberikan jaminan transparansi, pelayanan yang baik, dan tentunya lebih mudah diawasi oleh otoritas daerah.
“Bandara ini pintu gerbang NTB. Jangan sampai kesan pertama pengunjung kita adalah kerugian atau kecurangan. Kalau perlu, kita dorong kontrak ini dibatalkan dan lelang ulang dilakukan dengan standar pengawasan yang lebih ketat,” jelas Hamdan.
Ia juga menekankan perlunya membuka ruang bagi pelaku usaha lokal agar terlibat aktif dalam pengelolaan layanan publik, termasuk di sektor parkir bandara.
Hamdan juga menyerukan kepada masyarakat yang pernah mengalami kasus serupa untuk tidak diam. Ia mendorong korban untuk melapor ke Ombudsman, Kepolisian, atau DPRD, agar kejadian ini bisa diusut tuntas dan tidak terulang di masa mendatang.
“Silakan laporkan ke Ombudsman, ke polisi. Jangan diam. Kalau tidak ditindak hari ini, bisa jadi setiap hari ada korban baru yang dirugikan. Ini harus segera dihentikan,” tegasnya lagi.