Mataram, Jurnalekbis.com – Pemerintah kembali menggelar program bantuan pangan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebagai langkah nyata menjaga stabilitas harga dan memastikan keterjangkauan bahan pokok, khususnya beras, bagi masyarakat Indonesia. Melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas), program ini dijadwalkan berlangsung selama enam bulan, terhitung sejak Juli hingga Desember 2025, dan akan menyasar seluruh wilayah Indonesia dengan total target distribusi mencapai 1.318.826 ton.
Untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), alokasi penyaluran beras SPHP tahun ini mencapai 23.607 ton. Hal ini disampaikan oleh Pimpinan Wilayah Perum Bulog NTB, Sri Muniati, saat meninjau langsung ketersediaan beras SPHP di Pasar Pagutan, Mataram, Minggu (13/7).
“Penyaluran SPHP beras ini merupakan tindak lanjut dari Surat Kepala Bapanas Nomor 173 per 8 Juli 2025. Kami dari Bulog NTB siap menyalurkan jatah yang ditetapkan dengan memperkuat kolaborasi lintas sektor,” ujar Sri Muniati.
Bulog NTB merancang sistem distribusi yang melibatkan empat jalur utama agar bantuan beras SPHP bisa menjangkau masyarakat secara merata, termasuk yang tinggal di wilayah terpencil atau rawan inflasi pangan. Keempat jalur tersebut adalah pengecer di pasar rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, Kios pangan binaan pemerintah daerah dan Gerakan Pangan Murah (GPM) yang diselenggarakan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait
Sri Muniati menekankan bahwa pendekatan multisaluran ini akan mempercepat penyaluran bantuan, sekaligus menjaga kestabilan pasokan dan harga beras di pasar lokal.
“Keempat saluran ini diharapkan bisa menjangkau masyarakat seluas-luasnya, khususnya di tengah tekanan harga beras yang mulai dirasakan publik,” tegasnya.
Program SPHP juga menyasar isu keterjangkauan harga, dengan menyalurkan beras medium berkualitas dalam kemasan 5 kilogram. Harga dari gudang Bulog ditetapkan sebesar Rp11.000 per kilogram, atau Rp55.000 per kemasan, dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp12.500/kg atau Rp62.500 per pack.
Angka ini jauh lebih rendah dibanding harga beras medium di pasaran yang saat ini telah menembus Rp13.000/kg, sehingga SPHP menjadi alternatif ekonomis bagi masyarakat.
“Dengan kondisi harga pasar saat ini, SPHP menjadi solusi ekonomis tanpa mengorbankan kualitas. Ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat,” ujar Sri Muniati.

Untuk menjamin penyaluran SPHP tepat sasaran dan mencegah penyimpangan, Bulog NTB bekerja sama dengan Satgas Pangan, TNI/Polri, dan dinas daerah melakukan pengawasan intensif terhadap seluruh proses distribusi.
Bahkan, Sri Muniati menegaskan bahwa pihaknya tidak segan mengambil tindakan tegas terhadap pengecer yang melanggar aturan, terutama dalam hal harga.
“Kalau ada pengecer yang menjual di atas harga yang ditentukan, akan kita tindak tegas. Bisa peringatan hingga pemutusan kerjasama,” jelasnya.
Selain itu, untuk mencegah praktik curang dari oknum mitra lama, Bulog NTB melakukan verifikasi ulang dari nol terhadap pengecer yang sebelumnya telah bekerja sama. Pada 2024, tercatat ada 289 pengecer tersebar di 53 pasar tradisional di seluruh NTB.
“Kami harus pastikan bahwa hanya pengecer yang patuh dan kredibel yang boleh menyalurkan SPHP. Ini demi menjaga kepercayaan masyarakat,” tambah Sri Muniati.
Penyaluran SPHP di NTB secara resmi telah dimulai sejak Sabtu pekan lalu, dengan jumlah awal sebesar 1.707 ton yang didistribusikan ke berbagai titik di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat terkait ketersediaan stok, Sri Muniati memastikan bahwa cadangan yang dimiliki cukup untuk menunjang program hingga akhir tahun.
“Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di NTB saat ini mencapai 184.000 ton setara beras. Ini cukup untuk menjamin program SPHP berjalan lancar, sekaligus menopang kebutuhan menghadapi musim paceklik atau bencana,” ungkapnya.
Program SPHP bukan sekadar bantuan sosial, melainkan bagian dari strategi nasional pengendalian inflasi pangan, yang menjadi prioritas pemerintah di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi harga bahan pokok.
Melalui kerja sama lintas sektor—antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, hingga pelaku pasar lokal—SPHP diharapkan mampu menahan gejolak harga sekaligus mendongkrak ketahanan pangan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Keberhasilan program ini juga menjadi tolok ukur efektivitas intervensi pemerintah terhadap pasar pangan domestik, yang selama beberapa bulan terakhir sempat mengalami tekanan akibat cuaca ekstrem, distribusi terganggu, dan kenaikan harga pupuk.
Meski upaya telah maksimal, pemerintah menyadari bahwa tantangan di lapangan tetap besar. Mulai dari permainan harga, distribusi tak merata, hingga keterlambatan logistik di daerah-daerah terpencil menjadi hal yang terus dimonitor.
Sri Muniati pun mengajak masyarakat untuk turut mengawasi dan melaporkan apabila menemukan indikasi kecurangan di lapangan.
“Peran masyarakat sangat penting. Laporkan jika ada oknum pengecer nakal, atau jika Anda menemukan harga beras SPHP yang tidak sesuai HET. Pengawasan publik akan memperkuat efektivitas program ini,” tuturnya.