Lombok Timur, Jurnalekbis.com– Ratusan warga dari kalangan aktivis, mahasiswa, pemuda desa, hingga tokoh masyarakat tumpah ruah di An Najm Mart, Montong Tangi, Lombok Timur, Senin (21/7/2025). Mereka hadir mengikuti diskusi publik bertajuk “Pemimpin Itu Melayani, Bukan Dilayani”, sebuah forum intelektual yang menghadirkan pembicara-pembicara nasional dengan pandangan tajam soal arah demokrasi dan krisis kepemimpinan indonesia/">di Indonesia.
Acara ini diprakarsai oleh ulama kharismatik TGH Najamuddin Mustafa dan menghadirkan tokoh intelektual ternama Rocky Gerung, akademisi Mataram Dr. Alvin Syahrin, serta sejumlah tokoh politik lokal seperti Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lombok Timur Ahmad Amrullah, mantan anggota ntb/">DPRD NTB H. Ruslan Turmuzi, mantan anggota DPRD Sumbawa Barat Yames, dan Ketua Himalo Jakarta karman/">H. Karman BM.
Dari awal hingga akhir, diskusi berlangsung hangat namun kritis. Antusiasme peserta tampak jelas, terutama ketika topik mulai menyentuh isu korupsi, ketimpangan ekonomi, dan kualitas kepemimpinan di era pemerintahan saat ini.
TGH Najamuddin memulai dengan nada prihatin terhadap kondisi bangsa yang menurutnya sedang berada dalam krisis moral dan kepemimpinan. Ia menyebut bahwa korupsi di tubuh negara sudah masuk ke tahap yang sangat memprihatinkan.
“Negara hari ini mempertontonkan korupsi besar. Kita sebagai anak bangsa menjerit hanya sekadar untuk mendapatkan makan,” ucapnya dengan nada emosional.
Sebagai mantan anggota DPRD NTB, Najamuddin tidak ragu menyebut sistem politik saat ini gagal menahan laju kebatilan. Ia menuding banyak pemimpin yang maju bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk mengejar kekuasaan semata.
“Pemimpin ingin menjadi pemimpin hanya untuk memperoleh kekuasaan dan memporak-porandakan ekonomi kita,” tegasnya.
Pernyataan paling mencolok datang ketika ia menyinggung dugaan korupsi yang tengah mencuat di DPRD NTB. Najamuddin menyebut praktik “bagi-bagi uang” terjadi antara oknum DPRD dan jajaran eksekutif, dan kini kasusnya tengah dalam proses penyelidikan oleh kejaksaan.
“Ini saya yang mengangkat kasus ini dan hari ini sedang dilakukan pemanggilan ke kejaksaan,” ujarnya.
Ia mengajak masyarakat untuk ikut serta mengawal proses hukum, bukan demi memenjarakan seseorang, tetapi untuk memberikan efek jera dan menyelamatkan masa depan demokrasi.
Akademisi Dr. Alvin Syahrin menyoroti fenomena menyimpangnya demokrasi Indonesia dari cita-cita etis yang digariskan oleh para filsuf seperti Socrates dan Plato. Ia menyatakan bahwa demokrasi kini telah disandera oleh kekuatan uang dan elite ekonomi.

“Demokrasi kita telah menyimpang jauh dari prinsip etika. Sistemnya telah dibajak oleh segelintir elit ekonomi yang menguasai seluruh aset dan akses kekuasaan,” katanya.
Menurut Alvin, banyak calon pemimpin yang tidak memiliki kualitas intelektual justru dengan mudah masuk ke gelanggang kekuasaan, semata karena kekuatan finansial yang mereka miliki. Hal ini menurutnya sangat berbahaya karena membuat rakyat kehilangan pemimpin sejati yang mampu melayani dengan nurani.
“Orang-orang intelektual tidak memiliki akses masuk kekuasaan karena keterbatasan uang sebagai jalan,” ungkapnya.
Ia pun mengingatkan bahaya tersembunyi dari demokrasi yang justru bisa melahirkan otoritarianisme terselubung, sebagaimana dikemukakan oleh ilmuwan politik Steven Levitsky.
“Pemimpin otoriter bisa lahir dari proses demokrasi yang cacat. Bukan dengan kudeta, tapi dari prosedur demokrasi yang dimanipulasi secara transaksional,” paparnya.
Rocky Gerung, seperti biasa, tampil dengan retorika tajam dan metafora politis yang menggugah. Ia memulai dengan mengingatkan bahwa republik ini lahir dari pertengkaran pemikiran, bukan pertarungan anggaran.
“Indonesia dulu berdiri di atas pertengkaran pemikiran para pendiri bangsa. Sekarang, semuanya hanya bisa diselesaikan lewat transaksi anggaran,” ungkap Rocky.
Ia menyoroti fenomena “dealer politik” yang hanya memahami anggaran, bukan arah kepemimpinan. Bagi Rocky, pemimpin ideal adalah seorang leader yang mampu menawarkan visi, bukan sekadar dealer yang hanya memahami permainan amplop.
“Pemimpin yang paham arah namanya leader, pemimpin yang paham anggaran namanya dealer. Sekarang, lebih banyak dealer daripada leader,” sindirnya.
Tak ketinggalan, Rocky juga mengkritisi arah pemerintahan Presiden Prabowo yang menurutnya masih diwarnai kepemimpinan transaksional. Ia menantang apakah para kepala daerah saat ini benar-benar pemimpin visioner atau hanya operator politik.
“Di era Prabowo, apakah bupatinya, gubernurnya adalah dealer atau leader? Kelihatannya sekarang lebih banyak dealer,” ujarnya disambut tepuk tangan.
Ia juga mengungkap keresahan internasional terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, media asing mulai mengusulkan “radical break” atau tindakan drastis untuk menyelamatkan pemerintahan dari stagnasi politik dan kepemimpinan.
“Bahasa internasional menyarankan ‘radical break’. Bahasa kita: reshuffle kabinet secara menyeluruh,” tegasnya.
Salah satu pernyataan paling menggugah dari Rocky adalah tentang peran kampus. Ia menyebut bahwa kampus saat ini menjadi satu-satunya tempat yang masih mengajarkan nalar, etika, dan metodologi ilmiah.
“Satu-satunya kejujuran sekarang ada di kampus. Karena di kampus, mahasiswa masih diajarkan berpikir dengan data dan logika,” katanya.
Ia pun menitipkan pesan kepada pemuda Lombok Timur untuk tetap menjaga demokrasi agar tidak mati di tangan elite yang tidak bertanggung jawab.
“Saya berharap pemuda di Lombok Timur ini dapat menjaga demokrasi agar tetap hidup,” serunya.
Di akhir sesi, Rocky juga menyinggung program-program pemerintah seperti Makan Siang Bergizi yang mulai menuai kritik. Ia menyoroti ketidakpercayaan investor dan potensi ekonomi Indonesia yang seharusnya bisa membuat rakyat hidup sejahtera.
“Freeport bisa kita pakai untuk 70 tahun ke depan, Newmont bisa kita pakai untuk membiayai kehidupan gratis di Indonesia Timur. Tapi itu potensi. Masalahnya, manajemennya enggak bagus-bagus amat,” ucapnya.