Bisnis

Desain Rumah Subsidi ‘Dipaksa’ Berubah: Apa Kata REI & Masyarakat?

×

Desain Rumah Subsidi ‘Dipaksa’ Berubah: Apa Kata REI & Masyarakat?

Sebarkan artikel ini
Desain Rumah Subsidi 'Dipaksa' Berubah: Apa Kata REI & Masyarakat?
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com – Sebuah wacana panas tengah bergulir di ranah perumahan nasional, memicu kekhawatiran massal dan potensi gejolak di pasar properti. Pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dikabarkan tengah menggodok draf aturan baru yang akan memangkas signifikan batasan luas bangunan dan luas tanah untuk rumah subsidi. Jika rencana ini terwujud, wajah perumahan subsidi indonesia/">di Indonesia terancam berubah drastis, memunculkan pertanyaan besar tentang masa depan hunian layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Sebelumnya, Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 secara jelas menetapkan batas minimal luas tanah rumah tapak subsidi sebesar 60 meter persegi. Ukuran ini dianggap cukup ideal dan menjadi daya tarik utama bagi MBR untuk memiliki rumah pertama. Namun, draf aturan baru dari Kementerian PKP mengusulkan perubahan mencolok. Batasan luas bangunan rumah umum tapak akan diatur paling kecil 25 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi, dengan luas lantai rumah ditetapkan antara 18 hingga 35 meter persegi.

Perubahan ini sontak menimbulkan beragam reaksi. Selisih antara aturan lama dengan draf baru ini sangat signifikan, terutama pada luas bangunan minimal yang bisa jadi jauh lebih kecil dari standar sebelumnya. Wacana ini bukan sekadar diskusi di kalangan birokrat, melainkan telah menjadi obrolan serius di kalangan pengembang dan masyarakat calon pembeli rumah subsidi.

Ketua Real Estat Indonesia (REI) NTB, Hery Atmaja, tak menampik bahwa wacana ini berpotensi memengaruhi minat masyarakat untuk membeli rumah subsidi. “Masih wacana dari kementerian, rumah subsidi dibuat lantai 2, tapi tanahnya diperkecil,” ujar Hery, membuka kemungkinan desain rumah subsidi di masa depan yang akan mengadopsi konsep rumah bertingkat, bukan lagi rumah tapak dengan luas tanah yang memadai.

Baca Juga :  Bank Dinar NTB: Komitmen Dukung Pertumbuhan Ekonomi Inklusif NTB Melalui Pembiayaan Rill

Dampak ini tentu menjadi perhatian serius bagi para pengembang. Mereka harus menyesuaikan desain dan metode konstruksi, yang jelas berbeda dari pembangunan rumah tapak konvensional. “Pasti ada pengaruhnya, karena metode dan cara bangunnya pasti berbeda dengan sebelumnya,” tutur Hery. Perbedaan metode dan desain ini pada akhirnya akan berdampak pada biaya konstruksi, dan ujung-ujungnya dapat memengaruhi harga jual kepada MBR. Padahal, daya beli MBR sangat sensitif terhadap perubahan harga sekecil apapun.

Saat ini, REI pusat tengah aktif berdiskusi intensif dengan kementerian terkait rencana perubahan ini. Upaya kolaboratif ini menunjukkan komitmen REI untuk memastikan kebijakan yang akan diterapkan benar-benar tepat sasaran dan tidak merugikan masyarakat maupun industri properti yang selama ini menjadi tulang punggung penyediaan hunian bagi MBR. REI berjanji akan terus memantau perkembangan dan menginformasikan kepada publik. “Teman-teman REI pusat masih diskusi dengan kementerian mengenai rencana ini,” ucap Hery, menunjukkan adanya saluran komunikasi yang terbuka antara pemerintah dan asosiasi pengembang.

Rencana pengurangan luas rumah subsidi ini tidak hanya menjadi perbincangan hangat di kalangan pengembang, tetapi juga memicu kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat, khususnya para calon pembeli rumah pertama. Salah satunya adalah Saputra (28), seorang karyawan swasta di Kota Mataram yang saat ini sedang mempertimbangkan untuk membeli rumah pertamanya.

Baca Juga :  Kunjungan TPID Sumut: Belajar dari Keberhasilan NTB

Saputra sebelumnya sangat tertarik pada opsi rumah subsidi karena luas tanah dan bangunan yang dianggap ideal untuk memulai keluarga kecil. Namun, dengan adanya wacana pemangkasan luas ini, ia harus memutar otak kembali, bahkan mempertimbangkan opsi yang sebelumnya tak terpikirkan.

“Kalau mau ditempati mungkin tidak, cuma dijadikan investasi dengan disewakan,” ungkap Saputra, jujur mengungkapkan kegalauannya. Ia mengakui bahwa kepemilikan rumah adalah kebutuhan dasar, namun jika luas tanah dan bangunan diperkecil secara signifikan, maka pertimbangan untuk menjadikannya sebagai tempat tinggal pribadi akan berkurang drastis. Ruang gerak yang terbatas tentu akan menjadi pertimbangan utama, terutama bagi keluarga yang berencana memiliki anak atau membutuhkan ruang lebih untuk aktivitas sehari-hari.

Ide untuk menjadikan rumah subsidi sebagai investasi yang disewakan menjadi alternatif yang muncul, terutama jika harga dapat disesuaikan dengan ukuran yang lebih kecil. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan hunian yang layak dan nyaman bagi MBR terancam terpinggirkan oleh pertimbangan investasi semata jika kebijakan ini diberlakukan. Saputra bahkan mempertanyakan alasan di balik perubahan aturan yang sebelumnya sudah sesuai dengan keinginan masyarakat dan telah terbukti efektif.

Baca Juga :  Pertamina Akan telusuri Proses Penjualan Solar Subsidi yang Disalahgunakan

“Kalau untuk subsidi ini harapannya dipikirkan kembali dengan rencananya ini. Kalau bisa aturannya tetap sama, karena masyarakat menginginkan kebijakan yang konsisten dan berpihak pada kebutuhan riil, bukan sebaliknya,” imbuhnya dengan nada penuh harap. Pernyataan Saputra merepresentasikan suara banyak MBR yang menginginkan kepastian dan kebijakan yang mendukung mereka, bukan malah mempersulit impian memiliki rumah layak.

Di balik wacana pemangkasan luas rumah subsidi ini, mungkin ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan pemerintah, meskipun belum ada penjelasan resmi yang rinci dari Kementerian PKP. Salah satu kemungkinan adalah keterbatasan lahan, terutama di perkotaan besar yang harga tanahnya melambung tinggi. Dengan memperkecil luas tanah, pemerintah bisa membangun lebih banyak unit di lahan yang sama, atau membuka peluang pembangunan di area yang sebelumnya dianggap tidak ekonomis.

Selain itu, mungkin ada upaya untuk menekan harga pokok produksi rumah subsidi. Dengan bangunan yang lebih kecil, biaya material dan konstruksi bisa berkurang, yang berpotensi menjaga harga jual tetap terjangkau bagi MBR. Namun, ini adalah pedang bermata dua, karena pengurangan ukuran yang terlalu ekstrem dapat mengurangi kelayakan huni dan daya tarik bagi pembeli.

Wacana untuk membangun rumah subsidi 2 lantai dengan luas tanah lebih kecil juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan, namun ini tentu akan meningkatkan kompleksitas pembangunan dan berpotensi pada kenaikan biaya konstruksi per unit, yang lagi-lagi berisiko membebani MBR.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *