jurnalekbis.com/wp-content/uploads/2023/02/WhatsApp-Image-2023-02-09-at-21.38.52-250x190.jpeg" alt="" width="250" height="190" />Jurnalekbis.com – Ibu Aminah, salah seorang pemulung di TPA Kebon Kongok, asal Dusun Nyamarai, Desa Karang Bongkot, Kecamatan Labuapi harus berkompetisi dengan keadaan. Penghasilannya yang terbilang minim, harus mampu ia optimalkan untuk bisa memenuhi kebutuhan nutrisi keluarga, terutama kedua anaknya. Terlebih ia mengaku anak keduanya sempat mengalami stunting.
Profesinya sebagai seorang pemulung sekaligus seorang ibu memiliki kerentanan terhadap berbagai infeksi yang bisa saja menulari dari sampah yang dikumpulkannya. Sementara penghasilannya hanya mencapai Rp200 ribu per dua minggunya.
“Sebenarnya sangat kurang sih (untuk bisa mencukupi kebutuhan), cuma kalau ada kardus, plastik, kaleng yang ada sisa-sisanya. Sehari kita jual bisa dapat Rp15 ribu,” tutur Aminah, saat ditemui di TPA Kebon Kongok, Kamis (09/02/2023).
Ia pun berusaha bagaimana caranya supaya penghasilan yang diperolehnya tersebut, bisa memenuhi kebutuhan nutrisi harian kedua anaknya. Yang masing-masing berusia 8 dan 3 tahun. Di mana anaknya yang paling kecil sempat dinyatakan stunting oleh petugas posyandu.
“Iya (sempat stunting) dikasih tahu dari Posyandu, dikasih tahu anak saya stunting pas saya pulang dari TPA, terus dapat penyuluhan,” ungkap dia.
Namun, sayangnya seminggu setelah ada pendataan terkait stunting, anaknya justru tak mendapat bantuan saat yang lainnya bisa memperoleh hal tersebut.
“Seminggunya lagi ada kabar ada yang dapet Sembako, yang stunting-stunting aja. Tapi pas orang-orang dapat Sembako, anak saya ndak ada namanya,” heran Aminah.
Ibu yang selalu menyiratkan senyuman di wajahnya ini mengaku baru menjadi pemulung di TPA Kebon Kongok selama 1,5 tahun. Setiap harinya, ia mengais gunungan sampah di TPA itu untuk mengumpulkan sampah-sampah plastik. Mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00 Wita.
“Ngumpulinnya (sampah) 2 minggu sekali baru nimbang, kalau uangnya sih dapat Rp200 ribu untuk 2 minggu,” tuturnya.
Aminah menyebut, sampah plastik yang dijual per kilonya seharga Rp2.500. Seharusnya ia kadang bisa mengumpulkan satu karung sampah plastik.
“Karena banyak teman (pemulung) jadi sampah plastiknya juga jadinya gak banyak yang kita dapat,” imbuh dia.
Sedangkan sang suami berprofesi sebagai kuli bangunan di proyek-proyek pembangunan perumahan. Sementara Aminah, terpaksa memilih untuk menjadi pemulung karena tak ada pekerjaan lain, demi untuk bisa membantu perekonomian keluarganya.
Kendati demikian, ia tak pernah mengizinkan anak-anaknya untuk ikut memulung. Terlebih, anaknya yang paling besar juga sempat mengalami infeksi pencernaan. Sehingga ia tak menginginkan anaknya untuk ikut berkutik dengan tumpukan sampah bersama dirinya.
“Iya (tidak mengizinkan anaknya ikut memulung) biar tetap sehat, bisa tetap sekolah,” ungkapnya haru.
Dengan keterbatasan penghasilan yang didapat, Aminah ingin asupan nutrisi untuk anak-anaknya bisa tetap terpenuhi.
“Sekarang gak pernah sakit dia, gemuk sekarang, beratnya juga naik sekarang. Kemarin pas dikasih tahu stunting itu 9,2 kg berturut-turut 2 bulan. Trus bulan kemarin 10,9 kg,” pungkas perempuan berusia 30 tahun itu.