BusinessNews

Pengolahan Sampah Jadi Energi Terbarukan di PLTU Jeranjang

×

Pengolahan Sampah Jadi Energi Terbarukan di PLTU Jeranjang

Sebarkan artikel ini
Pengolahan Sampah Jadi Energi Terbarukan di PLTU Jeranjang

Lombok Barat, Jurnalekbis.com – Upaya mengelola sampah menjadi sumber energi terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) semakin maju dengan program pemanfaatan biomassa sebagai bahan co-firing di PLTU Jeranjang. Program ini merupakan hasil kerja sama antara beberapa pihak, termasuk PT PLN UIW NTB, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, dan UPT TPA Kebon Kongok. Melalui inovasi ini, NTB berupaya mendukung target bauran energi terbarukan nasional serta mewujudkan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Sabtu (9/11),

Kepala UPT TPA Kebon Kongok, Radyus Ramli Hindarman, menjelaskan bahwa pihaknya telah berhasil memproduksi Solid Recovered Fuel (SRF) dari sampah organik dan sebagian kecil sampah non-organik. SRF ini dikirim ke PLTU Jeranjang untuk digunakan sebagai bahan co-firing yang dapat menggantikan sebagian penggunaan batu bara.

“Kami memproduksi SRF dari olahan sampah organik dan sedikit sampah non-organik, kemudian itu yang kita kirim ke PLTU Jeranjang menjadi co-firing batubara,” ungkap Radyus.

Proses pengolahan ini bermula dari program Jeranjang Olah Sampah Setempat (JOSS) yang menjadi cikal bakal pengolahan sampah menjadi energi. Sejak tahun 2020, telah dilakukan penelitian dan pengembangan melalui nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah provinsi NTB dan PT PLN UIW NTB. Program ini bertujuan untuk menemukan komposisi sampah yang optimal agar bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar di PLTU Jeranjang.

Baca Juga :  Optimalisasi Hasil Pertanian, KKN UNW Gelar Pelatihan Pengolahan Sampah di Tanjung Karang Mataram

“Pada awalnya, target produksi kami sekitar 500 kg per hari. Program ini sekaligus mencari komposisi sampah yang tepat untuk dijadikan sumber energi,” tambah Radyus.

Selama dua tahun, program ini terus dikembangkan melalui Litbang yang melibatkan PLTU Jeranjang dan Dinas LHK NTB. Dengan dukungan PLN yang menyediakan peralatan serta bahan baku, UPT TPA Kebon Kongok bertanggung jawab menyediakan tenaga listrik, peralatan, dan pengangkutan.

“Setelah dianggap memenuhi syarat, program ini kemudian ditingkatkan dari tahap Litbang menjadi perjanjian kerja sama komersial,” ujar Radyus .

Produksi SRF di TPST Kebon Kongok kini mencapai sekitar 30 ton sampah setiap harinya, yang sebagian diolah menjadi SRF. Menurut Radyus, SRF ini terdiri dari 95 persen sampah organik, terutama daun dan ranting, sementara 5 persen lainnya berasal dari sampah non-organik seperti kantong plastik.

Baca Juga :  Kolaborasi Perempuan Desa Sukarara: Tenun dari Limbah Plastik untuk Dunia

“Setelah kering dan dicacah, bahan-bahan tersebut dikirim ke PLTU Jeranjang sebagai bahan bakar tambahan untuk co-firing,” pungkas Radyus.

Sementara itu, Anton Wibisono, Manajer Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Lombok, menjelaskan bahwa co-firing biomassa pertama kali diuji coba pada tahun 2019 di PLTU Jeranjang dengan metode Refuse Derived Fuel (RDF). Saat ini, PLTU Jeranjang menggunakan berbagai jenis biomassa seperti SRF, pelet sampah, woodchip, dan serbuk bonggol jagung sebagai bahan co-firing, guna mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.

“Suplai biomassa kami dipasok oleh PLN Energi Primer dan beberapa mitra lainnya untuk memastikan pasokan biomassa tetap tersedia secara berkelanjutan, saat ini, persentase co-firing telah meningkat dari 8 persen pada Oktober lalu menjadi 10 persen. Setiap hari, PLTU Jeranjang membutuhkan sekitar 30 ton biomassa atau sekitar 10 persen dari total konsumsi batu bara, dengan konsumsi batu bara rata-rata 300 ton per PLTU,” jelas Anton.

Baca Juga :  Kapal Bocor dan Tenggelam, Tim SAR Selamatkan Awak Rizal Indah 2

Dengan kualitas bahan bakar yang memenuhi standar WL 4000, kolaborasi ini mendukung program pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission 2050 di Provinsi NTB.

“Dengan kolaborasi ini, keberlanjutan co-firing PLTU Jeranjang dapat terus terjaga dan bahkan meningkat guna mendukung program pemerintah Net Zero Emission 2050 di Provinsi NTB,” pungkas Anton.

Dari data PLN Indonesia Power Dampak emisi RDF selama penggunaan cofiring tercatat NOX rata-rata turun 3.95 persen, SOX turun 3.19 persen, CO2  turun 1,1 persen, H2S turun 14,1 persen dan CO turun 50 persen. Dan  telah memenuhi peraturan menteri No. 15/2019 tentang baku mutu emisi pembangkit listrik tenaga termal.

Melalui kerja sama dengan berbagai pihak dan pemanfaatan teknologi, NTB menunjukkan komitmennya dalam mendukung kemandirian energi serta menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Dengan program seperti ini, NTB tidak hanya membantu mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA, tetapi juga membuka peluang bagi pengembangan energi terbarukan di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *