Mataram, Jurnalekbis.com – Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Akbar Himawan Buchari, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Menurutnya, kebijakan yang kerap kali berubah-ubah dan mengenakan tarif tinggi secara tiba-tiba tersebut tidak memiliki landasan ilmu ekonomi yang kuat dan terkesan ‘asal tembak’.
Akbar menyoroti secara khusus kebijakan Trump yang mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap produk-produk Indonesia, dengan alasan neraca perdagangan Indonesia yang surplus sebesar 17 miliar dolar AS. Menurutnya, logika ini sangat dangkal dan tidak mencerminkan pemahaman mendalam tentang dinamika perdagangan internasional.
“Kita melihat kebijakan Trump 0.1 ini, kalau kami melihat bahwa tidak ada ilmu ekonominya. Semua kebijakan pemerintah yang melihat felensid (maksudnya: balance of trade) neraca perdagangan Indonesia dilihat surplus 17 miliar dolar sehingga dikenakan tarif 32 persen, tidak ada hitungan ekonominya,” ujar Akbar. Sabtu (12/4).
Lebih lanjut, Akbar menilai bahwa kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump lebih bersifat sementara dan taktis, dengan tujuan utama untuk membuka ruang negosiasi dengan negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Langkah penurunan tarif menjadi 10 persen baru-baru ini dianggap sebagai sinyal dibukanya kembali pintu dialog.
“Jadi artinya ini adalah kebijakan hanya bersifat sementara untuk membuka ruang negosiasi dan memang hari ini sudah dibuka ruang negosiasi dengan keputusan sela ini pemerintah AS menurunkan menjadi 10 persen,” jelasnya.
Dalam konteks ini, HIPMI berharap agar pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan momentum negosiasi ini dengan sebaik mungkin untuk mencapai formulasi kebijakan perdagangan yang benar-benar menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution). Akbar menekankan pentingnya menghindari kebijakan yang bersifat ego sektoral dari salah satu negara dan mengedepankan kepentingan bersama dalam jangka panjang.
“Ini yang kita berharap pemerintah Indonesia bisa bernegosiasi dengan baik dengan pemerintahan Trump, bisa membuat formulasi kebijakan yang benar-benar win-win, tidak membuat kebijakan yang bersifat ego sektoral dari salah satu negara,” imbuhnya.
Di tengah tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS, Akbar melihat adanya potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha Indonesia. Ia mendorong para pelaku usaha yang selama ini fokus pada produk-produk prioritas ekspor untuk segera melakukan diversifikasi pasar ke negara-negara lain.

“Kita melihat ada potensi ekonomi, bagaimana teman-teman yang selama ini produk prioritas ekspor bisa menderivikasi ke negara lain,” kata Akbar, menekankan pentingnya mencari alternatif pasar untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara.
Selain diversifikasi pasar ekspor, Akbar juga menyoroti pentingnya penguatan pasar domestik. Ia menilai bahwa kebijakan tarif AS ini dapat menjadi momentum untuk meningkatkan daya serap pasar dalam negeri terhadap produk-produk lokal, sehingga program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah dapat berjalan lebih efektif dan menyasar konsumen di dalam negeri.
“Bagaimana meningkatkan domestic market kita sehingga program hilirisasi dari pemerintah bisa dilaksanakan di dalam negeri dan menyasar konsumen di dalam negeri. Ini adalah momentum saya rasa untuk mendervikasi tujuan negara ekspor untuk meningkatkan domestic market kita sehingga produk kita bisa pasarkan,” jelasnya.
Akbar mengakui bahwa beberapa sektor industri di Indonesia akan terdampak langsung oleh kebijakan tarif AS, terutama sektor tekstil dan alas kaki. Meskipun kontribusi ekspor kedua sektor ini ke AS tidak mencapai mayoritas total ekspor Indonesia (sekitar 20 persen berdasarkan data ekspor), dampaknya terhadap pelaku usaha di sektor tersebut tetap signifikan.
“Kita lihat ada beberapa sektor terutama tekstil, dan alas kaki ini terdampak langsung, tidak semuanya kita lihat kontribusi ekspor kita ke Amerika itu 20 persen dari data ekspor kita. Jadi memang ada beberapa sektor industri yang terdampak langsung,” ungkapnya.
Namun, di tengah tantangan tersebut, Akbar melihat adanya peluang besar melalui kemitraan Indonesia dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Menurutnya, BRICS merupakan pasar yang sangat potensial dengan pangsa pasar dunia mencapai 40 persen.
“Kita juga sudah bergabung di BRICS, kemitraan Indonesia dengan BRICS, 40 persen pasar dunia ada di sana. Ini adalah potensi market memungkinkan kita masuk di BRICS,” ujarnya dengan nada optimis.
Selain BRICS, Akbar juga menekankan potensi pasar di kawasan ASEAN. Ia menilai bahwa kebijakan tarif AS justru dapat memperkuat solidaritas dan menciptakan pasar baru di antara negara-negara anggota ASEAN.
“Dan jangan lupa kita ini adalah negara ASEAN, dengan adanya kebijakan Trump ini saya melihat solid menciptakan market baru di ASEAN,” pungkas Akbar, melihat adanya hikmah di balik tantangan kebijakan perdagangan global.
Pernyataan Ketua Umum HIPMI ini memberikan perspektif yang menarik mengenai dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia. Selain mengkritisi dasar kebijakan yang dinilai tidak berlandaskan ilmu ekonomi, Akbar juga memberikan pandangan konstruktif mengenai langkah-langkah adaptasi yang dapat dilakukan oleh para pengusaha Indonesia, seperti diversifikasi pasar ekspor dan penguatan pasar domestik, serta memanfaatkan potensi kemitraan dengan BRICS dan negara-negara ASEAN. Momentum negosiasi dengan AS diharapkan dapat dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang lebih adil dan saling menguntungkan.