Mataram, Jurnalekbis.com – Sebuah pertunjukan seni yang unik dan menyentuh hati tersaji di Mataram. Yayasan Pedalangan Wayang Sasak dan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak menggelar pentas wayang yang tak biasa, menampilkan lakon “Okto si Penjaga Laut” yang dibawakan secara apik oleh anak-anak Sekolah Luar Biasa (SLB) 1 Mataram. Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, namun juga menjadi bagian dari perayaan 75 tahun persahabatan Indonesia-Prancis dan sekaligus memperingati 10 tahun berdirinya Sekolah Pedalangan Wayang Sasak.
Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak dan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Latif Apriaman, menjelaskan bahwa lakon “Okto si Penjaga Laut” merupakan karya dari Fitri Rahmawati atau akrab disapa Pikong. Kisahnya sederhana namun sarat makna, menceritakan tentang persahabatan antara seekor gurita (Octopus) penjaga laut bernama Okto dengan seekor ikan dari Teluk Weske, Prancis, bernama Hake. Melalui persahabatan lintas spesies dan negara ini, penonton diajak untuk memahami bahwa persahabatan dapat terjalin di mana saja, tanpa memandang perbedaan.
“Pertunjukan hari ini itu karya dari Fitri Rahmawati atau Pikong, yaitu ‘Okto si Penjaga Laut’. Berkisah tentang sesosok Octo (Octopus) yang menjaga laut, kemudian bertemu dengan sahabat dari Prancis namanya Hake, ikan dari Teluk Weske. Mereka membangun persahabatan dan ternyata seperti ikan-ikan juga kita di sini bisa membangun persahabatan,” ungkap Latif Apriaman, Senin (28/4/2025).
Lebih istimewa lagi, pertunjukan ini melibatkan kolaborasi yang apik antara anak-anak SLB 1 Mataram dengan para guru yang penuh dedikasi. Latif Apriaman mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kerja sama yang luar biasa ini, yang memungkinkan terwujudnya pementasan yang memukau.
“Pertunjukan yang kita saksikan tadi adalah pertunjukan dari anak-anak Sekolah Luar Biasa (SLB) 1 Mataram. Semua kumpul dan berkolaborasi, guru-gurunya membantu kami dan jadilah proses pertunjukan seperti tadi,” jelasnya.
Para penonton yang hadir pun beragam, mulai dari anak-anak SLB, siswa SMA, hingga masyarakat umum. Latif Apriaman berharap pertunjukan ini dapat memberikan pemahaman baru kepada para penonton, terutama generasi muda, bahwa dengan kesederhanaan dan kreativitas, banyak hal dapat dipelajari dan dinikmati. Wayang botol, yang terbuat dari bahan daur ulang, menjadi simbol inovasi dan pemanfaatan sumber daya yang ada.
“Untuk penonton sebagian dari anak-anak SLB, SMA, kami ingin mereka mengenali sesuatu bahwa dengan kesederhanaan, dengan wayang yang terbuat dari botol, mereka bisa belajar banyak hal,” kata Latif.
Pertunjukan wayang botol ini juga menjadi bagian dari gerakan “Si Baturta” (Simak, Baca, Tulis, Tutur, Tayang), sebuah metode pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan dasar anak-anak agar mampu bersaing di era global tanpa kehilangan identitas budaya.
“Ini adalah salah satu gerakan dari ‘Si Baturta’ – belajar dengan simak, baca, tulis, tutur, dan tayang. Kemampuan dasar yang harus dimiliki anak-anak kita agar mereka bisa bersaing di dunia global, agar mereka mengenali dirinya dan mengenali akar budayanya,” terang Latif.
Mengangkat Wayang Sasak sebagai akar budaya, Latif Apriaman menjelaskan bahwa inovasi wayang botol ini bertujuan untuk mengenalkan kesenian tradisional kepada anak-anak dengan cara yang lebih menarik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tujuannya adalah agar generasi muda tidak kehilangan jejak dan tetap mencintai Wayang Sasak yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Lombok.
“Kebetulan kami berangkat dari Wayang Sasak, jadi wayang botol ini merupakan inovasi dari Wayang Sasak, bagaimana mengenalkan anak-anak agar mereka tidak kehilangan jejak pada Wayang Sasak yang sampai saat ini terus dicintai oleh publik di Lombok,” ujarnya.

Meskipun persiapan pertunjukan ini terbilang singkat, hanya sekitar satu minggu, namun Latif Apriaman memuji kemampuan adaptasi dan bakat yang dimiliki oleh anak-anak SLB yang terlibat. Mereka yang sebelumnya telah memiliki bekal dasar dalam seni pertunjukan mampu dengan cepat memahami dan memainkan peran masing-masing.
“Memang singkat, mungkin orang tidak percaya bahwa efek latihan ini seminggu. Tapi kebetulan adik-adik yang bermain di pertunjukan ini mereka yang sudah punya bekal. Jadi kami sudah berproses sebelumnya, workshop, jadi mereka punya bekal, tinggal membagikan cerita kepada mereka dan mereka bisa memainkannya,” jelasnya.
Tantangan kecil sempat muncul karena ini merupakan pengalaman pertama bagi sebagian anak-anak SLB bermain di panggung yang cukup besar. Namun, semangat dan antusiasme mereka berhasil mengatasi kendala tersebut. Latif Apriaman berharap keberhasilan pertunjukan ini dapat menginspirasi sekolah-sekolah lain untuk menggelar kegiatan serupa, tidak harus di acara besar, namun bisa di lingkungan sekolah masing-masing.
“Mungkin butuh penyesuaian karena mereka pertama kalinya bermain di panggung yang lumayan besar, biasanya mereka main di sekolah. Ini kebetulan saja ada event, tetapi semoga saja ini menginspirasi sekolah-sekolah yang lain, silakan menggelar pertunjukan tidak mesti di sini, di sekolah di mana saja,” harapnya.
Lebih lanjut, Latif Apriaman menekankan pentingnya memberikan sentuhan pelatihan budaya kepada anak-anak sejak dini. Upaya ini bertujuan agar generasi muda tidak kehilangan akar budaya mereka, seberapapun majunya perkembangan zaman.
“Anak-anak hari ini butuh sekali sentuhan pelatihan mengenali budaya mereka. Itu yang ingin kami kejar dan ajak, bagaimanapun kita sehebat pun kita, tetapi akar budaya mesti harus tetap dijaga,” pungkasnya.
Salah seorang penonton yang hadir, Dita Damayanti, mengaku sangat terkesan, terharu, dan bangga dengan perjalanan 10 tahun Sekolah Pedalangan Wayang Sasak hingga mampu melanglang buana dan melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus dalam pertunjukannya.
“Saya sangat terkesan, terharu, bangga dengan sepuluh tahun perjalanan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak sampai hari ini, sampai melanglang buana di negara lain. Jadi ini pertunjukannya oke, eksekusinya oke, terutama melibatkan anak-anak di dalamnya, dan khususnya anak-anak SLB,” ujar Dita.
Dita menambahkan bahwa keterlibatan anak-anak SLB dalam pertunjukan ini memberikan harapan bahwa siapapun memiliki potensi untuk berkarya. Ia pun memberikan selamat atas suksesnya pementasan tersebut.
“Jadi itu memberikan harapan bahwa siapapun bisa berkarya, dan selamat untuk pertunjukan hari ini,” katanya.
Lebih lanjut, Dita memuji eksekusi cerita yang sederhana namun menarik, properti wayang botol yang kreatif, serta kostum berbahan daur ulang yang dikenakan oleh para pemain. Ia juga memberikan apresiasi khusus kepada dalang di balik layar yang berhasil menghibur penonton dengan kepiawaiannya.
“Yang membuat terkesan itu eksekusi dari segi cerita, ceritanya sederhana, kemudian propertinya dan keproduksinya, tokoh Okto dibuat serius banget, jempol untuk Mbak Dian. Kemudian adik-adik dengan pakai kostum sampah menarik sekali. Kemudian lagi dalang-dalangnya di balik tokoh-tokoh sungguh menghibur, kita tadi tertawa juga terharu dengan cerita yang dibuat oleh Bu Fikong,” pungkas Dita.
Pertunjukan wayang botol “Okto si Penjaga Laut” ini bukan hanya menjadi perayaan seni dan budaya, tetapi juga menjadi momentum inspiratif yang menunjukkan inklusivitas dan potensi luar biasa dari anak-anak berkebutuhan khusus. Kolaborasi yang harmonis antara seniman, pendidik, dan anak-anak SLB ini membuktikan bahwa seni dapat menjadi jembatan untuk merayakan perbedaan dan menumbuhkan rasa bangga terhadap identitas budaya bangsa.