Mataram, Jurnalekbis.com – Babak baru dalam pengusutan dugaan korupsi proyek irigasi sumur air tanah dangkal di Lombok Utara menemui titik terang. Pada Selasa, 10 Juni 2025, Kejaksaan Negeri Mataram menerima penyerahan tahap II tersangka dan barang bukti dari Polres Lombok Utara. Empat individu yang terlibat dalam proyek fiktif senilai ratusan juta rupiah ini akhirnya resmi ditahan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Mataram, mengakhiri proses penyidikan yang cukup panjang dan menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat.
Penahanan ini menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi, khususnya di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah yang seringkali rawan penyimpangan. Kasus ini mencuat ke permukaan setelah proyek irigasi sumur bor dan kelengkapan pompa air tenaga surya yang didanai anggaran tahun 2016 pada Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan (PPKKP) Kabupaten Lombok Utara terbukti tidak berfungsi dan tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagaimana mestinya. Sebuah ironi, mengingat proyek ini seharusnya menjadi tulang punggung peningkatan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani di wilayah tersebut.
Keempat tersangka yang kini mendekam di tahanan adalah HR (Direktur CV. Risa Mandiri), H (Direktur CV. Intan Utara), RS (Direktur CV. Merci Gananta), dan S (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA). Mereka diduga kuat terlibat dalam skema korupsi yang merugikan keuangan negara. Menurut Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Mataram, M. Harun Al Rasyid, modus operandi yang digunakan cukup sistematis dan mengindikasikan adanya persekongkolan jahat.
“Pada Tahun 2016 Dinas PPKKP mendapatkan Anggaran untuk pekerjaan Sumur Bor dari Dana DBHCHT sebesar Rp306.430.000 dan DAK Rp153.215.000,” jelas Harun.
Total anggaran yang dialokasikan untuk proyek ini mencapai Rp459.645.000. Angka yang tidak kecil, apalagi jika melihat dampak positif yang seharusnya dihasilkan dari keberadaan sumur bor tersebut bagi masyarakat petani.

Namun, alih-alih proyek ini dilaksanakan dengan transparan dan akuntabel, proses pengerjaannya justru dilakukan secara penunjukan langsung. Hal ini dimungkinkan karena paket pekerjaan sengaja dipecah-pecah oleh KPA. Praktik pemecahan paket pekerjaan (splitting) adalah modus umum dalam tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk menghindari proses lelang atau tender terbuka, sehingga proyek dapat diberikan langsung kepada pihak-pihak tertentu yang sudah “diatur”.
“Proses pengerjaannya secara penunjukan langsung karena paket pekerjaan sengaja dipecah-pecah oleh KPA, namun hingga saat ini Sumur BOR tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipergunakan oleh Masyarakat sebagaimana mestinya,” tegas Harun.
Dugaan kuat adanya tindak pidana korupsi ini semakin diperkuat dengan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berdasarkan audit tersebut, kerugian negara yang ditimbulkan akibat proyek fiktif ini mencapai angka fantastis, yaitu Rp408.558.437. Angka ini mendekati seluruh total anggaran yang dialokasikan, menunjukkan betapa parahnya penyimpangan yang terjadi.
Kerugian negara sebesar itu tentu saja sangat disayangkan, apalagi di tengah kebutuhan mendesak masyarakat Lombok Utara akan infrastruktur pertanian yang memadai. Dana yang seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan petani justru raib, masuk ke kantong-kantong pribadi para pelaku korupsi. Kehadiran audit BPKP ini menjadi kunci vital dalam proses hukum, memberikan bukti konkret mengenai jumlah kerugian yang diderita negara.
Sebelum penyerahan tahap II ini, para tersangka memang tidak dilakukan penahanan selama proses penyidikan di Polres Lombok Utara. Kebijakan ini seringkali menjadi sorotan publik, mengingat kasus korupsi seringkali melibatkan kerugian negara yang besar dan berpotensi adanya upaya penghilangan barang bukti atau memengaruhi saksi. Namun, setelah proses pelimpahan tahap II kepada JPU Kejari Mataram, kebijakan penahanan berubah.
“Setelah proses pelimpahan Tahap II kepada JPU Kejari Mataram, dilakukan penahanan terhadap para tersangka selama 20 Hari ke depan,” ujar Harun.
Penahanan ini didasarkan pada pertimbangan objektif dan subjektif oleh JPU. Pertimbangan objektif biasanya meliputi ancaman pidana yang tinggi dan besarnya kerugian negara, sementara pertimbangan subjektif meliputi kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
Penahanan ini menunjukkan keseriusan Kejaksaan Negeri Mataram dalam menuntaskan kasus ini dan memastikan para tersangka tidak menghambat proses hukum selanjutnya. Ini juga menjadi sinyal keras bagi para pelaku korupsi bahwa cepat atau lambat, mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.