Opini , Jurnalekbis.com – Angka itu bukan sekadar statistik. 377.000 korban perang di Palestina, dan lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Itu berarti lebih dari 180.000 jiwa kecil – yang seharusnya bermain, belajar, dan tumbuh – justru menjadi korban kebiadaban perang. Dunia melihat, tapi memilih diam. Kamera merekam, tapi lidah-lidah penguasa membisu. Ketika pembantaian terjadi di depan mata, diam bukan lagi netral, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Yang lebih menyayat hati, dari ratusan ribu korban itu, ribuan anak-anak yang selamat justru kehilangan anggota tubuh, penglihatan, pendengaran, atau mengalami trauma psikososial yang berat. Mereka kini hidup dalam kondisi disabilitas, di tengah reruntuhan dan tanpa akses rehabilitasi medis yang layak. Mereka kehilangan masa depan, bukan hanya karena perang, tapi juga karena dunia tidak memberikan harapan.
Bayangkan seorang anak berusia 8 tahun yang harus belajar hidup dengan satu kaki di tengah wilayah blokade. Atau bayi yang kehilangan penglihatan karena serpihan bom. Atau remaja yang tak bisa lagi bicara karena shock berat. Mereka tidak hanya kehilangan bagian tubuhnya, tetapi juga kehilangan tempat untuk hidup, sekolah untuk belajar, dan masyarakat untuk tumbuh.
Dunia internasional, khususnya negara-negara besar yang mengaku menjunjung hak asasi manusia, bersikap selektif dalam kepedulian. Resolusi PBB mentok pada veto. Bantuan kemanusiaan dipolitisasi. Sementara media arus utama pun kerap membingkai perang ini seolah dua pihak seimbang, padahal jelas satu pihak adalah penjajah, satu pihak adalah yang dijajah.

Lebih memilukan lagi, sebagian besar negara-negara Arab, yang seharusnya menjadi benteng pertahanan Palestina, justru memilih jalan kompromi ekonomi. Alih-alih bersatu, mereka sibuk dengan kerja sama dagang, proyek energi, dan aliansi politik, bahkan dengan pihak yang selama puluhan tahun membantai saudara mereka. Di mana hati nurani ketika anak-anak Palestina dibantai atau dijadikan disabilitas seumur hidup? Apakah kemanusiaan kini bisa ditukar dengan kontrak investasi?
Indonesia, meskipun tetap konsisten bersuara di forum internasional, perlu lebih berani menjadi inisiator dan penggerak gerakan global. Bukan hanya dalam bentuk pernyataan sikap, tapi juga melalui diplomasi aktif, tekanan konkret ke negara-negara OKI, dan dukungan riil terhadap layanan kemanusiaan, termasuk akses rehabilitasi bagi korban disabilitas akibat perang.
Perang ini bukan hanya membunuh tubuh, tapi juga menghancurkan harapan generasi masa depan. Dunia telah gagal mencegah pembantaian, jangan sampai gagal juga dalam merawat mereka yang selamat dalam luka.
Kita tidak sedang membela satu agama atau satu bangsa. Kita sedang membela hak paling dasar manusia untuk hidup, untuk sehat, dan untuk bermasa depan. Jika 180.000 anak-anak mati di tempat lain, dunia mungkin sudah bereaksi keras. Tapi karena itu terjadi di Gaza, dunia memilih bungkam.
Maka suara kita, sekecil apapun, tak boleh ikut tenggelam. Sebab dalam setiap suara yang jujur dan lantang, ada harapan bahwa kemanusiaan belum sepenuhnya mati. Dan mungkin, di sanalah satu-satunya kekuatan untuk menyelamatkan mereka yang tersisa.