Mataram, Jurnalekbis.com – Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Nusa Tenggara Barat (NTB), Suhermanto, menilai kebijakan penarikan royalti musik di ruang publik yang diterapkan pemerintah masih perlu perbaikan. Meski mendukung perlindungan hak cipta, ia menilai mekanisme yang berlaku saat ini kurang tepat dan berpotensi memicu keresahan di kalangan pelaku usaha hiburan.
“Kita sebenarnya mendukung, cuma sistemnya yang keliru. Kalau sporadis seperti ini membuat gaduh,” ujar Suhermanto, Selasa (12/8).
Suhermanto menyebut aturan penarikan royalti yang mengacu pada Kementerian Hukum dan HAM sering berbenturan dengan regulasi yang diacu pengusaha, khususnya terkait izin usaha. Ia mencontohkan, rumah makan atau kafe yang menjadikan makanan sebagai produk utama tetap diminta membayar royalti, padahal musik hanya sebagai pelengkap.
“Restoran tidak pernah menyelipkan biaya orang masuk untuk mendengarkan musik,” katanya.

Ia juga menyoroti kasus kafe karaoke yang sudah berlangganan layanan musik berbayar seperti YouTube Premium atau platform streaming lainnya, namun tetap diwajibkan membayar royalti tambahan. Menurutnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Wahana Musik Indonesia (WAMI) seharusnya menyediakan aplikasi resmi berbayar yang dapat digunakan semua pelaku usaha agar kontrol dan distribusi royalti lebih transparan.
Suhermanto mengkritik metode perhitungan royalti yang didasarkan pada luas bangunan dan jumlah tempat duduk tanpa mempertimbangkan kondisi usaha. “Usaha hiburan ini bisa bertahan atau tidak, rugi atau tidak, mereka tidak mau tahu. Seolah-olah semua musik itu milik mereka, padahal tidak semua tempat memutar lagu Indonesia,” jelasnya.
Ia juga mempertanyakan mekanisme distribusi royalti untuk lagu-lagu Barat yang sering diputar di kafe atau bar dengan segmentasi pasar tertentu. “Kalau kita membayar, kita berhak tahu bagaimana cara mereka mendistribusikannya,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti banyaknya warung atau angkringan kecil yang menyediakan fasilitas karaoke gratis namun belum tersentuh aturan. “Apa bedanya dengan kita di karaoke? Tapi mereka tidak dibebankan,” ujarnya.
Suhermanto berharap pemerintah memperbaiki kebijakan dengan sistem yang adil dan terukur, termasuk mendorong LMKN atau WAMI menciptakan aplikasi resmi sebagai pintu masuk tunggal pemutaran musik berlisensi. “Kalau seperti Gojek atau Grab, mau tidak mau pengguna bayar karena semua terintegrasi. Musik juga seharusnya begitu,” pungkasnya.
