[ytplayer id='15931']
Bisnis

Hotel di Mataram Keberatan Bayar Royalti Musik hingga Rp4,4 Juta per Tahun

×

Hotel di Mataram Keberatan Bayar Royalti Musik hingga Rp4,4 Juta per Tahun

Sebarkan artikel ini
Hotel di Mataram Keberatan Bayar Royalti Musik hingga Rp4,4 Juta per Tahun
0-0x0-0-0#
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com – Sejumlah hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengaku keberatan setelah menerima surat tagihan royalti musik dari pihak terkait. Nilai tagihan bervariasi, mulai Rp2 juta hingga lebih dari Rp4,4 juta per tahun, tergantung jumlah kamar yang dimiliki hotel.

Sekretaris Bendahara Asosiasi Hotel Mataram (AHM) yang juga General Manager Hotel Grand Madani, Rega Fajar Firdaus, mengungkapkan bahwa beberapa hotel bahkan sudah menerima somasi karena dianggap tidak membayar royalti.

“Kami dari AHM memang betul sudah disurati berupa tagihan, bahkan ada teman kami juga sudah disomasi. Alasannya mungkin karena tidak mau membayar, walaupun sebagian hotel ada yang sudah sanggup membayar,” kata Rega, Rabu (13/8/2025).

Baca Juga :  Nostalgia Motor Ayago Bangkit Kembali! Honda Pop 110i ES 2024 Meluncur dengan Gaya Unik dan Harga Menggoda

Menurut Rega, besaran tagihan untuk hotel didasarkan pada klasifikasi jumlah kamar. Hotel dengan jumlah kamar di bawah 50 dikenakan royalti Rp2 juta per tahun, sedangkan hotel dengan 51–100 kamar membayar Rp4,4 juta plus PPN 9 persen. Hotel dengan jumlah kamar lebih banyak dikenakan tarif lebih tinggi.

“Tagihan hotel saya keluar akhir Juli sebesar Rp4 juta plus PPN setahun. Sistemnya akan menagih lagi tahun depan di bulan yang sama,” jelasnya.

Rega menilai metode perhitungan royalti masih bermasalah. Royalti dikenakan untuk setiap instrumen atau perangkat yang bisa mengeluarkan musik, termasuk TV di kamar hotel. Bahkan, hotel yang tidak memiliki TV di semua kamar tetap mendapat tagihan.

“Dia menganggap setiap kamar ada TV dan TV itu bisa mengeluarkan musik yang mengandung hak cipta. Ada hotel yang tidak ada TV, tapi tetap dikirimi tagihan. Inilah yang jadi pro-kontra,” tegasnya.

Baca Juga :  Talent Scouting: "Kabar baik dari NTB disektor Ketenagakerjaan".

Bahkan, lanjut Rega, hotel berbasis syariah yang hanya memutar murotal atau musik religi tetap dikenakan royalti. “Kemarin viral suara burung dari YouTube pun kena. Jadi dia melihat objek suara, tidak peduli siapa penyanyinya,” tambahnya.

Di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, kewajiban membayar royalti ini dinilai membebani pelaku usaha perhotelan. Terlebih, banyak hotel skala kecil yang tagihannya sama dengan hotel kelas menengah.

“Aturannya tidak dihitung berdasarkan grade, tapi jumlah kamar. Padahal ada hotel bintang bawah dengan jumlah kamar lebih banyak, tapi secara pendapatan tidak sebanding dengan hotel bintang tinggi,” ujarnya.

Rega menyebut aturan pembayaran royalti musik ini sudah diatur dalam undang-undang tahun 2021, namun sosialisasinya dirasa belum maksimal. “Kenapa baru gencar Agustus ini? Ini yang jadi pertanyaan kami,” ungkapnya.

Baca Juga :  OJK Dorong Literasi Keuangan Syariah hingga Desa, Lantan Lombok Tengah Jadi Percontohan

Ia juga menyoroti ancaman sanksi yang dinilai terlalu berat. Jika menolak membayar royalti, pelaku usaha terancam pidana 10 tahun penjara atau denda hingga Rp4 miliar.

“Kita pengusaha seperti dianggap residivis saja, padahal ini soal interpretasi aturan. Banyak pengusaha ketar-ketir,” pungkas Rega.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *