[ytplayer id='15931']
Hukrim

Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB Kecam Tuntutan Ringan Kasus Ponpes Sekotong

×

Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB Kecam Tuntutan Ringan Kasus Ponpes Sekotong

Sebarkan artikel ini
Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB Kecam Tuntutan Ringan Kasus Ponpes Sekotong
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com– Koalisi Stop Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat (NTB) melayangkan kritik keras terhadap tuntutan dan putusan ringan yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Sekotong, Lombok Barat. Kasus ini melibatkan tiga orang ustaz, yakni WM alias Gus W, HM alias AM, dan seorang tuan guru berinisial S.

Perwakilan koalisi, Yan Mangandar Putra, menyebut pihaknya kecewa berat dengan sikap Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram yang dianggap tidak konsisten dalam menegakkan hukum. Ia menilai tuntutan delapan tahun penjara terhadap dua terdakwa, Gus Wahyu dan Abah Marwan, terlalu ringan. Lebih jauh, rasa kecewa makin memuncak setelah pada 11 September 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram menjatuhkan vonis lebih ringan kepada Abah Marwan, yakni enam tahun penjara.

Baca Juga :  Bayi Malang Dibuang di Sawah Lombok Tengah, Diduga Hasil Hubungan Gelap

“Ini langkah mundur dalam upaya memberantas kekerasan seksual di lingkungan ponpes. Tuntutan dan putusan itu sangat jauh dari rasa keadilan sosial,” kata Yan dalam keterangan resminya, Rabu (17/9/2025).

Dinilai Menyalahi UU Perlindungan Anak

Koalisi menilai jaksa maupun hakim telah mengabaikan ketentuan hukum terbaru, yakni UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perubahan II). Menurut pasal 81 dan 82, pelaku kekerasan seksual bisa dihukum minimal 10 tahun penjara jika korbannya lebih dari satu orang dan pelaku merupakan pendidik. Ancaman maksimalnya 20 tahun penjara, bahkan ditambah kemungkinan hukuman kebiri kimia maupun pemasangan pendeteksi elektronik.

“Jaksa justru mendasarkan tuntutan pada UU hasil Perubahan I (UU 35/2014). Itu jelas melanggar hukum dan menunjukkan tidak adanya empati terhadap korban,” tegas Yan.

Baca Juga :  Aksi Pencurian di Tambak Udang Digagalkan, Dua Pelaku Diciduk

Bandingkan dengan Kasus Ponpes di Praya

Koalisi mengingatkan bahwa NTB sejauh ini dikenal tegas dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual. Contohnya, perkara yang diputus PN Praya pada 31 Juli 2025 terhadap Tazkiran, pendiri ponpes di Pringgarate, Lombok Tengah. Meski ada saksi yang mencabut keterangan di persidangan, hakim tetap menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara setelah jaksa menuntut 19 tahun.

“Situasinya hampir sama. Ada relasi kuasa yang kuat antara terdakwa dan korban. Harusnya itu menjadi alasan untuk memperberat hukuman, bukan malah meringankan,” ujar Yan.

Akan Dilaporkan ke Kejagung dan KY

Atas dasar itu, koalisi membuka opsi melaporkan Kejari Mataram ke Kejaksaan Agung RI dan Komisi Kejaksaan. Hal serupa juga akan dilakukan terhadap Majelis Hakim PN Mataram yang memeriksa perkara ini.

Baca Juga :  IJTI NTB dan Polda Sepakati Langkah Tegas Lindungi Kebebasan Pers

“Kami sudah mendapat informasi awal bahwa pemeriksaan anak korban dan saksi tetap dilakukan dengan menghadirkan terdakwa di ruang sidang. Itu dugaan pelanggaran etik yang akan kami laporkan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,” ungkap Yan.

Koalisi menegaskan, seharusnya tuntutan dan putusan di kasus ini bisa memperkuat pesan bahwa ponpes adalah tempat aman bagi santri dan santriwati. “Tidak boleh ada sedikit pun celah bagi predator seksual. Kalau ada yang coba-coba, hukumannya harus sangat berat,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *