Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam sepuluh tahun terakhir mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat, meskipun dalam beberapa tahun tumbuh fluktuatif. Salah satu sendi yang menopang pertumbuhan ekonomi NTB adalah sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berdasarkan data dari Pemprov NTB, hingga tahun 2025 jumlah UMKM di NTB sudah diatas 324.000 unit. Angka tersebut merefleksikan bahwa mayoritas aktivitas ekonomi kerakyatan di NTB digerakkan oleh usaha berskala mikro dan kecil. Adapun transaksi dilakukan melalui penjualan toko fisik yang mengandalkan tatap muka dan melalui e-commerce yang memanfaatkan internet dan platform digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas tanpa batasan lokasi atau waktu.
Untuk mendukung dan memperkuat keberlangsungan UMKM, pemerintah telah menghadirkan satu jenis badan usaha baru yakni Perseroan Perorangan yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perseroan Perorangan, atau sering disebut PT Perorangan, adalah bentuk badan hukum yang didirikan oleh satu orang Warga Negara Indonesia (WNI) dan memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan proses cepat, biaya rendah dan persyaratan sederhana sehingga cocok untuk pebisnis pemula. Manfaat langsung pendirian Perseroan Perorangan adalah akses permodalan dan pembiayaan ke perbankan lebih besar serta memperkuat tata kelola usaha. Hal ini dapat mendorong pelaku UMKM NTB untuk naik kelas secara legal dan lengkap secara administratif.
Meskipun Perseroan Perorangan dirancang untuk memfasilitasi UMKM, data Wajib Pajak menunjukkan bahwa jumlah Perseoran Perorangan di NTB masih sangat rendah yakni
sekitar 3.000 unit atau sekitar 1% dari total populasi UMKM NTB. Mayoritas pelaku UMKM NTB masih beroperasi sebagai usaha informal atau dalam bentuk legalitas yang lebih sederhana, misalnya Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) atau kepemilikan perseorangan tanpa badan hukum. Jika kita telisik lebih dalam, terdapat beberapa hambatan UMKM belum beralih ke Perseroan Perorangan yakni minimnya sosilaisasi dan literasi hukum, kendala teknis registrasi dan keterbatasan literasi digital, adanya kekhawatiran bertambahnya kewajiban dan biaya serta masih tertanamnya kenyamanan status informal.
Perseroan Perorangan adalah produk hukum yang relatif baru dan belum sepenuhnya dipahami oleh pelaku UMKM. Banyak UMKM yang tidak mengetahui bahwa mendirikan PT dapat dilakukan oleh satu orang dengan biaya Rp50.000 tanpa notaris. Fenomena yang terjadi saat ini adalah masih tertanamnya di benak pelaku UMKM, ketika akan mendirikan PT dibutuhkan modal yang besar, proses rumit dan harus mencari rekanan. Pelaku UMKM seringkali merasa legalitas sudah cukup diwakili Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), tanpa menyadari benefit yang ditawarkan status badan hukum berupa Perseroan Perorangan.
Tantangan berikutnya berakar pada keterbatasan literasi digital dan akses internet yang belum merata, terutama bagi pelaku usaha mikro di pedesaan. Mereka kesulitan mengisi formulir elektronik yang dianggap rumit dan tidak terbiasa dengan sistem yang berbasis digital. Penambahan beban administrasi merupakan tantangan selanjutnya karena pelaku UMKM khawatir akan kewajiban membuat laporan keuangan tahunan yang rumit dan memakan waktu. Tantangan terakhir yang paling sensitif adalah aspek perpajakan. Pelaku UMKM seringkali beranggapan bahwa menjadi badan hukum akan menarik perhatian otoritas pajak secara lebih intensif.
Namun demikian, transformasi UMKM menjadi Perseoran Perorangan memiliki multiplier effect (berkontribusi ganda) baik terhadap penerimaan pajak pusat maupun pajak daerah NTB. Otoritas pajak pusat di NTB yakni Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Nusa Tenggara Barat sangat terbantu dengan semakin tumbuhnya Perseroan Perorangan yang ditandai dengan lebih tepat sasarannya fungsi edukasi dan pengawasan kewajiban perpajakan. Dalam praktik di lapangan, sebagian besar Perseroan Perorangan masuk dalam kategori usaha dengan omset ≤ 4,8 miliar rupiah per tahun yang dapat menikmati insentif perpajakan dari pemerintah berupa Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% yang berlaku selama empat tahun.
Ketika omset Perseroan Perorangan meningkat dan sudah tidak dapat menggunakan tarif PPh Final 0,5%, maka Perseroan Perorangan akan mengikuti ketentuan tarif umum PPh. Hal ini menjadi sebuah fondasi yang kokoh sebagai mesin pertumbuhan penerimaan pajak jangka panjang. Disisi lain, pada saat Perseoran Perorangan berkembang pesat dan mengajukan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) maka mereka akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang atau jasa kena pajak yang dijual. Dengan menjadi PKP, Perseoran Perorangan berkontribusi langsung pada penerimaan negara melalui PPN sekaligus memasuki ekosistem administrasi perpajakan yang lebih formal. Hal ini tidak hanya meningkatkan transparansi transaksi dan kepatuhan pajak, tetapi juga meningkatkan kepercayaan stakeholder karena lebih dipercaya oleh mitra usaha, lembaga keuangan, dan pemerintah sehingga memperbesar peluang memperoleh akses pembiayaan, kontrak usaha, dan serta jangkauan kemitraan yang lebih luas.
Selain pajak pusat, perkembangan Perseroan Perorangan di NTB juga mendorong penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang dikelola oleh Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah Pemprov dan Kabupaten/ Kota NTB. Jenis pajak yang terkait dengan kegiatan Perseroan Perorangan diantaranya adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak
hiburan, pajak reklame, pajak air tanah, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Dengan semakin banyaknya usaha formal, potensi kebocoran penerimaan pajak daerah berkurang signifikan.
Keberhasilan Perseoran Perorangan sebagai akselerator ekonomi NTB harus dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor, baik dari pemerintah pusat (Ditjen AHU Kemenkum NTB, Kanwil DJP Nusa Tenggara) maupun dari pemerintah daerah di NTB (Dinas Koperasi dan UKM, Badan Pendapatan Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota di NTB). Upaya yang harus dilakukan adalah edukasi yang masif dan pendampingan teknis guna menghilangkan ketakutan UMKM terhadap status formal badan usaha, mengubah mindset pelaku UMKM dan merangkul digitalisasi. Harapannya, ratusan ribu UMKM NTB dapat bermigrasi dari sekedar entitas ekonomi informal menjadi subjek pajak yang patuh dan mitra usaha yang terpercaya sehingga kemandirian fiskal NTB dapat terwujud.
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.












