Opini

Jejak Perubahan: Disabilitas Membangun NTB

×

Jejak Perubahan: Disabilitas Membangun NTB

Sebarkan artikel ini
Jejak Perubahan: Disabilitas Membangun NTB
Penulis : Lalu Wisnu Pradipta ( Pemerhati Disabilitas )

Peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di berbagai daerah, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB), hampir selalu dirayakan dengan gegap gempita. Panggung megah, spanduk keberpihakan, testimoni pejabat publik, hingga slogan inklusi yang dikumandangkan berulang, membentuk sebuah lanskap simbolik bahwa pemerintah hadir untuk difabel. Namun, jika diamati lebih dalam, euforia itu sering kali tidak sejalan dengan implementasi kebijakan jangka panjang yang seharusnya menjadi fondasi pembangunan inklusif.

NTB, seperti banyak provinsi lain, menghadirkan serangkaian agenda seremonial setiap Desember. Namun, kejayaan panggung tidak otomatis mengubah struktur pelayanan publik, khususnya pada sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial. Hal ini mengindikasikan adanya gap antara retorika dan realitas, atau dalam kajian kebijakan publik disebut sebagai implementation deficit—kondisi ketika kebijakan berhenti pada tataran komitmen formal, tetapi gagal bertransformasi menjadi tindakan konkret di lapangan.

Sebagai provinsi dengan populasi disabilitas yang signifikan, NTB sebenarnya telah mengadopsi beberapa regulasi kemajuan: mulai dari Perda Inklusi, pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD), hingga pembentukan jejaring penyedia layanan. Namun, berbagai instrumen itu sebagian besar masih bersifat normatif, belum terintegrasi dalam perencanaan dan anggaran sektoral.

Fenomena ini menegaskan bahwa kebijakan disabilitas di NTB masih berada dalam fase awal, yaitu “policy output”, bukan “policy outcome” atau “policy impact”. Artinya, ia telah diproduksi dalam bentuk dokumen, tapi belum menghasilkan perubahan struktural. Proses mainstreaming disabilitas belum menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus pembangunan daerah, melainkan masih diperlakukan sebagai agenda tambahan, add-on policy yang muncul sesekali ketika momentum politik memungkinkan.

Salah satu persoalan mendasar dalam implementasi kebijakan inklusi di NTB adalah minimnya koordinasi lintas sektor. Pendidikan inklusif bergerak sendiri, layanan sosial berjalan sendiri, dan kebijakan ketenagakerjaan tidak sepenuhnya mengacu pada kerangka reasonable accommodation. Hal ini menciptakan fragmentasi kebijakan, sebuah kondisi yang sering kali membuat penyandang disabilitas tidak memperoleh layanan secara utuh.

Sebagai contoh, banyak sekolah menyatakan siap menerima murid penyandang disabilitas, namun tidak memiliki guru pendamping khusus, fasilitas adaptif, maupun sistem asesmen yang tepat. Sementara di sektor ketenagakerjaan, peluang kerja untuk difabel masih sebatas program CSR, belum masuk ke dalam kebijakan ketenagakerjaan daerah yang bersifat mengikat.

Dengan demikian, perayaan inklusi setiap tahun hanya mempertegas paradoks: semakin keras seruan inklusi disampaikan di panggung, semakin terlihat jarak antara idealitas dan praksis kebijakan.

Di tengah ketidakpastian implementasi kebijakan daerah, komunitas dan organisasi berbasis masyarakat, seperti SHG (Self-Help Group), jaringan advokasi, dan rumah singgah, menjadi aktor yang benar-benar menghadirkan perubahan. Mereka bergerak dalam logika yang berbeda dari birokrasi. Bagi komunitas, inklusi bukan seremonial, melainkan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pelatihan ekonomi inklusif, pendampingan orang tua, penyediaan rumah singgah, dan advokasi pendidikan menjadi bentuk-bentuk perubahan mikro yang justru menghasilkan dampak nyata. Dalam perspektif studi pembangunan, inilah bagian dari social innovation inovasi berbasis komunitas yang hadir karena negara belum menjalankan fungsinya secara maksimal.

Dengan kata lain, difabel di NTB bukan menunggu perubahan, tetapi membangunnya sendiri, meski sering kali dengan sumber daya yang terbatas.

Jika NTB ingin benar-benar menjadi provinsi inklusif, maka perubahan harus bergerak dari seremonial ke struktural. Pemerintah daerah perlu memastikan Penganggaran inklusif (inclusive budgeting) yang mengintegrasikan disabilitas ke setiap sektor, Penguatan kapasitas tenaga layanan, baik guru, tenaga kesehatan, maupun aparat desa, Monitoring dan evaluasi kebijakan yang melibatkan difabel sebagai subjek, bukan objek, Desain kebijakan berbasis data, bukan sekadar agenda politik lima tahunan, Kemitraan strategis dengan komunitas, bukan hanya menghadirkan mereka sebagai peserta acara.

Perubahan tidak lahir dari acara peringatan, tetapi dari keberanian pemerintah untuk menghadapi masalah struktural secara berkelanjutan.

Inklusi Bukan Panggung, Melainkan Proses Panjang

“Jejak Perubahan: Disabilitas Membangun NTB” bukan sekadar slogan, tetapi cermin bahwa transformasi sejati muncul dari ruang paling sunyi, dari komunitas yang bekerja tanpa spanduk, dari ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah inklusi yang belum sempurna, dari kelompok difabel yang berjuang membuka peluang kerja, dan dari organisasi kecil yang tetap bertahan di tengah terbatasnya dukungan.

Jika pemerintah ingin selaras dengan semangat itu, maka HDI bukan lagi momen euforia seremonial, melainkan titik refleksi untuk menata ulang arah kebijakan. Karena inklusi hanya akan bermakna jika jejak perubahan tidak berhenti di panggung, tetapi sampai ke rumah-rumah warga disabilitas yang selama ini menantikan kehadirannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *