Opini

Ketika Suara Menteri Sebagai Penentu Akhir Pemilihan Rektor Unram Periode 2026–2030

×

Ketika Suara Menteri Sebagai Penentu Akhir Pemilihan Rektor Unram Periode 2026–2030

Sebarkan artikel ini
Ketika Suara Menteri Sebagai Penentu Akhir Pemilihan Rektor Unram Periode 2026–2030
Oleh Markum, Guru Besar Unram

Pemilihan putaran kedua calon Rektor Universitas Mataram (Unram) periode 2026–2030 telah usai dilaksanakan pada Kamis, 18 Desember 2025. Dari lima bakal calon yang sebelumnya berkompetisi, telah mengerucut menjadi tiga calon, dengan perolehan suara masing-masing Prof. Sukardi (34 suara), Prof. Muhamad Ali (16 suara), dan Prof. Kurniawan (6 suara). Sekilas, konfigurasi suara tersebut tampak memberi gambaran awal mengenai siapa yang berada di posisi teratas. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: sudahkah hasil ini cukup untuk mengestimasi siapa pemenangnya? Jawabannya belum. Dalam mekanisme pemilihan rektor perguruan tinggi negeri, penentuan akhir tidak semata-mata ditentukan oleh suara senat, melainkan oleh suara Menteri yang memiliki bobot 35 persen, yang pada akhirnya menjadi faktor kunci dalam menentukan siapa yang akan memimpin Unram empat tahun ke depan.

Secara matematis, peta persaingan menjadi semakin jelas jika dilihat dari komposisi suara yang berlaku. Jumlah anggota Senat Universitas Mataram sebanyak 59 orang, sementara suara Menteri memiliki bobot 35 persen dari total suara pemilihan. Dengan komposisi tersebut, suara Menteri ekuivalen dengan 32 suara, sehingga total suara keseluruhan berjumlah 91 suara. Konsekuensinya, untuk dapat ditetapkan sebagai pemenang, seorang calon setidaknya harus memperoleh suara terbanyak. Dalam skenario jika seluruh suara Menteri diberikan kepada satu calon, maka kandidat yang memiliki peluang untuk menang adalah ketiga calon. Konfigurasi ini menegaskan bahwa kontestasi tidak lagi semata-mata ditentukan oleh perolehan suara senat, melainkan sangat bergantung pada arah pilihan suara Menteri sebagai penentu akhir.

Baca Juga :  Astrapay: Lebih dari Sekadar Dompet Digital, Sahabat Setia Jurnalis

Artinya, secara matematis dan prosedural, tidak ada skenario kemenangan yang memungkinkan tanpa keterlibatan suara Menteri. Pada titik inilah pemilihan rektor memasuki babak baru—bukan lagi sekadar kompetisi dukungan di internal senat, melainkan adu strategi untuk memperoleh legitimasi dan kepercayaan pemegang suara penentu, yakni Menteri. Dinamika inilah yang kemudian menggeser arena kontestasi dari ruang senat menuju ruang lobi kebijakan dan pertimbangan strategis di tingkat nasional.

Dalam fase krusial inilah, berbagai sumber daya dikerahkan secara intensif untuk memperoleh dukungan suara Menteri sebagai penentu akhir. Namun, perlu disadari bahwa Menteri bukanlah pemain tunggal yang sepenuhnya bebas menentukan arah pilihan secara mandiri. Dalam struktur kekuasaan yang hierarkis, posisi Menteri kerap berada pada simpul kebijakan yang tidak steril dari pengaruh kekuatan yang lebih besar, baik yang bersifat politik, institusional, maupun strategis. Keputusan yang diambil sering kali merupakan hasil dari rangkaian arahan, kepentingan, dan kalkulasi di tingkat yang lebih tinggi.

Baca Juga :  “Gak Perlu Diet, Makan Saja” — Tafsir atas Kesederhanaan dan Makna Hidup

Maka arena kompetisi bagi calon rektorpun bergeser dan meluas, tidak lagi semata berada pada ruang akademik dan forum resmi kampus, melainkan memasuki wilayah lobi, negosiasi, dan bahkan transaksi kepentingan. Beragam pendekatan kemudian dimainkan secara simultan mulai dari pendekatan politik melalui jejaring kekuasaan dan afiliasi politik, pendekatan kultural yang memanfaatkan kedekatan kekerabatan dan pertemanan, pendekatan ekonomi melalui insentif sumber daya, hingga pendekatan pada organisasi keagamaan. Dinamika ini menunjukkan bahwa pemilihan rektor, pada titik tertentu, berpotensi berubah dari proses akademik menjadi kontestasi kekuasaan yang kompleks dan berlapis.

Pada akhirnya, pertanyaan penting yang tersisa adalah bagaimana membaca arah pilihan Menteri dalam menentukan pemenang kontestasi ini. Jawabannya tidak pernah tunggal dan tidak sederhana. Arah tersebut saat ini sedang diuji melalui berbagai proses yang sengaja dibangun, diuji lewat beragam pendekatan, sinyal politik, komunikasi informal, serta konsistensi narasi yang ditawarkan masing-masing calon. Namun, jika dibaca dalam kerangka realitas kekuasaan, maka calon yang memiliki afiliasi politik paling kuat dengan kekuatan yang sedang berkuasa cenderung memiliki kans kemenangan yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *