Arab Saudi, Jurnalekbis.com – Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan kualitas layanan dan perlindungan bagi jemaah haji Indonesia pada musim haji 1446 H/2025 M. Dua skema inovatif yang terbukti efektif pada tahun sebelumnya, yakni murur di Muzdalifah dan tanazul di Mina, akan kembali diimplementasikan. Langkah strategis ini bertujuan utama untuk mengurai potensi kepadatan di titik-titik krusial serta memberikan prioritas perlindungan kepada jemaah lanjut usia (lansia) dan kelompok rentan lainnya, dengan tetap berpegang teguh pada koridor syariah.
Musim haji adalah momen puncak berkumpulnya jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia di satu titik waktu dan lokasi yang terbatas. Kondisi ini secara inheren membawa tantangan kepadatan ekstrem, terutama pada fase puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Mengantisipasi hal ini, PPIH Arab Saudi tidak hanya fokus pada aspek layanan dasar, tetapi juga proaktif mencari solusi untuk mitigasi risiko, khususnya bagi jemaah dengan kerentanan fisik.
Musytasyar Dini PPIH Arab Saudi, KH M. Ulinnuha, dalam keterangannya di Makkah pada Jumat (30/5/2025), menegaskan bahwa penerapan skema murur dan tanazul memiliki landasan hukum syariah yang kuat. “Kedua skema ini, murur dan tanazul, dibolehkan dalam perspektif fikih haji. Pelaksanaan ibadah haji jemaah yang mengikuti skema ini tetap sah dan tidak mengurangi nilai hajinya,” ujar KH Ulinnuha, memberikan ketenangan dan kepastian hukum bagi jemaah.
Skema murur adalah salah satu solusi kunci yang diterapkan PPIH untuk mengatasi tantangan kepadatan saat prosesi mabit (bermalam) di Muzdalifah. Secara teknis, murur berarti pergerakan jemaah haji dari Arafah menuju Mina yang hanya melintasi kawasan Muzdalifah tanpa mengharuskan jemaah turun dari kendaraan bus mereka. Setelah melewati Muzdalifah, jemaah akan langsung melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan rangkaian ibadah berikutnya, termasuk lempar jumrah dan mabit di Mina bagi yang tidak mengikuti skema tanazul.
KH Ulinnuha menjelaskan lebih lanjut mengenai aspek fikih dari mabit di Muzdalifah. “Secara umum, mabit di Muzdalifah memang termasuk dalam rangkaian wajib haji menurut jumhur (mayoritas) ulama. Namun, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memperbolehkan jemaah tidak bermalam di Muzdalifah, seperti adanya uzur fisik, kondisi lansia, atau alasan syar’i lainnya,” terangnya.

Beliau merujuk pada praktik di zaman Rasulullah SAW, “Dalam berbagai riwayat sahih, kita menemukan bahwa sejumlah sahabat yang memiliki tugas khusus, seperti memberi makan unta, menggembala ternak, atau bahkan kaum perempuan yang khawatir akan mengalami haid lebih awal sehingga menyulitkan mereka, diberi keringanan atau izin oleh Nabi Muhammad SAW untuk tidak mabit di Muzdalifah.”
Lebih lanjut, KH Ulinnuha mengutip pandangan Mazhab Hanafi yang memiliki pendekatan berbeda. “Menurut pandangan ulama Mazhab Hanafi, hukum mabit di Muzdalifah adalah sunnah, bukan wajib. Oleh karena itu, pelaksanaan murur, yakni hanya melintas, dibolehkan dan hajinya tetap dianggap sah tanpa ada kewajiban membayar dam (denda),” jelasnya.
Dasar penguat lainnya datang dari fatwa ulama kontemporer. “Salah satu fatwa yang cukup relevan dari ulama Mesir menyebutkan bahwa murur dibolehkan mengingat kondisi faktual di mana mustahil bagi jutaan jemaah untuk menempati dan bermalam di area Muzdalifah yang terbatas dalam satu waktu bersamaan. Ini menjadi salah satu dasar pertimbangan kuat bagi PPIH untuk menerapkan skema murur secara selektif, khususnya ditujukan bagi jemaah haji kita yang masuk dalam kategori lansia, memiliki disabilitas, atau mereka yang memiliki uzur syar’i lainnya,” imbuh KH Ulinnuha.
Pada pelaksanaan haji tahun 1446 H/2025 M ini, PPIH Arab Saudi telah mengidentifikasi dan merencanakan sekitar 50.000 jemaah haji Indonesia yang termasuk dalam kelompok prioritas tersebut untuk mengikuti skema murur. Jumlah ini menunjukkan skala signifikan dari upaya perlindungan yang dilakukan.
Setelah prosesi di Arafah dan Muzdalifah, jemaah haji akan melanjutkan rangkaian ibadah menuju Mina untuk mabit dan melakukan lempar jumrah. Mina, dengan areanya yang juga terbatas, kerap menjadi titik kepadatan berikutnya, terutama di area tenda-tenda pemondokan. Untuk mengatasi potensi ini dan memberikan kenyamanan lebih bagi jemaah, PPIH Arab Saudi juga akan kembali menerapkan skema tanazul.
Tanazul, dalam konteks ini, merujuk pada opsi bagi jemaah untuk kembali lebih awal ke hotel pemondokan mereka di Makkah setelah menyelesaikan prosesi lempar jumrah aqabah (pada tanggal 10 Zulhijjah) dan jumrah lanjutan bagi yang mengambil Nafar Awal atau Nafar Tsani, tanpa harus kembali mabit di tenda Mina.
Sama halnya dengan murur, skema tanazul juga memiliki landasan fikih yang kuat. “Implementasi skema tanazul ini juga mengacu pada pendapat Mazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa hukum mabit di Mina adalah sunnah. Konsekuensinya, jemaah yang memilih untuk langsung kembali ke hotel mereka di Makkah setelah menyelesaikan kewajiban lempar jumrah, hajinya tetap sah dan mereka tidak dikenakan kewajiban membayar dam,” terang KH Ulinnuha dengan gamblang.
Diperkirakan sekitar 30.000 jemaah haji Indonesia, terutama mereka yang pemondokannya berada di sektor Syisyah dan Raudhah di Makkah, dijadwalkan akan mengikuti skema tanazul ini. Logikanya, mereka yang telah selesai melaksanakan lempar jumrah pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah (bagi Nafar Tsani) tidak diwajibkan kembali ke tenda di Mina, melainkan dapat langsung menuju hotel masing-masing untuk beristirahat dengan lebih nyaman.