Lombok Tengah, Jurnalekbis.com –Ratusan aparat gabungan dari Polres Lombok Tengah, TNI, Pol PP, dan Vanguard diterjunkan untuk melakukan pengosongan lahan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). Namun, proses ini tak berjalan mulus, bahkan diwarnai kericuhan yang melibatkan pihak Aloha Beach Club dan berdampak pada kenyamanan wisatawan yang berada di lokasi.
Pengosongan lahan di areal Pantai Tanjung Aan merupakan bagian dari rencana besar pengembangan kawasan Mandalika sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). ITDC, sebagai pengelola utama kawasan, mengklaim bahwa lahan yang dikosongkan adalah bagian dari HPL mereka yang sah. Namun, penolakan keras datang dari pihak Aloha Beach Club yang beroperasi di lokasi tersebut.
Para pegawai dan pemilik, yang merasa tidak diberi ruang untuk bernegosiasi, berusaha menghalangi petugas. Teriakan dan protes mewarnai proses pembongkaran, menciptakan suasana tidak kondusif yang bahkan sempat mengganggu sejumlah wisatawan asing yang tengah menikmati keindahan Pantai Aan.
Kapolres Lombok Tengah, AKBP Eko Yusmiarto, membenarkan adanya penolakan tersebut. “Kali ini kegiatan pengosongan lahan di HPL ITDC sesuai ketetapan pemerintah, kami melaksanakan kegiatan hari ini sampai tiga hari ke depan,” jelas AKBP Eko.
Ia menambahkan bahwa pelaksanaan pengosongan dibagi menjadi beberapa area, yaitu tengah, timur, dan barat. “Alhamdulillah sampai siang ini berjalan lancar, kalau penolakan tetap ada dan ada sempat giring dengan beberapa masyarakat yang meminta waktu. Tetapi kami sudah sampaikan bahwa waktu sudah diberikan sebelumnya, jadi hari ini kita sudah langsung eksekusi untuk melakukan pengosongan,” imbuhnya.
Dalam insiden tersebut, seorang warga turut diamankan aparat karena diduga membawa senjata tajam. Namun, Kapolres Eko meluruskan bahwa senjata tersebut bukan untuk mengancam. “Tadi diamankan karena membawa senjata tajam, tadi sudah saya tanyakan itu hanya untuk memotong kelapa senjatanya, tidak untuk mengancam. Tetapi kita amankan untuk keamanan kita bersama,” terang AKBP Eko. Warga yang diamankan tersebut kini berada di Mako Polsek Mandalika untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Di balik upaya penertiban oleh aparat, tersimpan suara pilu dari masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan oleh laju pembangunan. Kartini, pemilik Aloha Beach Club, mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam terhadap ITDC dan pemerintah. Ia merasa tidak pernah diberikan kesempatan untuk berbicara atau mencari solusi terbaik terkait penggusuran ini.
“Kami tidak pernah diberikan ruang oleh ITDC untuk berbicara, tidak ada kesempatan maunya kami seperti apa dalam penggusuran ini,” keluh Kartini dengan nada getir.
Baginya, keberadaan mereka sebagai warga negara Indonesia dengan KTP yang sah seolah tidak dianggap di tanah sendiri. “Kami ini tidak dianggap warga NKRI di sini, KTP yang kami punya itu sia-sia tidak ada gunanya,” ujarnya penuh keputusasaan.
Kartini menjelaskan bahwa selama ini mereka hanya berjualan di sepanjang sepadan pantai, lahan yang kini diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah.
“Kami hanya menjual di sepanjang sepadan pantai, tetapi pemerintah mengambil alih semuanya dari kami. Katanya untuk kesejahteraan rakyat, pembangunan di belakang tidak ada masih kosong ribuan hektar tapi kenapa di depan didahulukan,” protesnya.
Kartini juga menyoroti dampak ekonomi yang sangat berat bagi dirinya dan puluhan karyawannya. “Kami sudah sampaikan dulu di depan, dulu maka kami bisa ditata, tetapi karyawan saya 60 orang ini dia mau ke mana?” tanya Kartini.
Ia membayangkan masa depan yang suram tanpa penghasilan, apalagi jika harus berhadapan dengan cicilan pinjaman bank. “Sekarang misalnya kami bodoh-bodoh tidak bertahan, apa yang akan kami makan ke depan? Belum lagi kredit pinjaman yang harus kami ajukan ke bank, siapa yang akan menanggung?” lanjutnya.
Dalam keputusasaannya, Kartini bahkan membandingkan kesulitan yang dihadapinya dengan situasi perang. “Jadi untuk pemerintah, Bapak Presiden Prabowo, sulitnya yang sedang perang sekarang punya kami ini tidak ada apa-apanya, mereka lebih sulit. Tapi aparat di sini membuat kami perang sesama warga bahkan saya dengan suaminya diadu domba,” tuturnya, menyiratkan adanya upaya pembenturan antara warga dan aparat.