News

Dende Tamari, Kisah Keberanian Perempuan Lawan Kekuasaan dari Lombok

×

Dende Tamari, Kisah Keberanian Perempuan Lawan Kekuasaan dari Lombok

Sebarkan artikel ini
Dende Tamari, Kisah Keberanian Perempuan Lawan Kekuasaan dari Lombok
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com – Bengkel Aktor Mataram (BAM) kembali menunjukkan tajinya sebagai salah satu kelompok teater paling konsisten di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sabtu malam, 25 Oktober 2025, BAM menuntaskan pementasan lakon Dende Tamari di Gedung Tertutup Taman Budaya NTB, disaksikan ratusan penonton yang memenuhi ruang pertunjukan hingga larut malam.

Pementasan ini menandai penampilan ke-63 BAM—sebuah capaian yang menunjukkan keberlanjutan kelompok teater independen yang berdiri di Mataram lebih dari dua dekade lalu. BAM terus menjaga nyala seni pertunjukan di tengah tantangan zaman yang semakin digital dan instan.

Kepala Taman Budaya NTB, Lalu Surya Mulawarman, memuji konsistensi BAM dalam menjaga ruang ekspresi masyarakat seni.
“Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, tapi ruang dialog gagasan dan kemanusiaan. Dende Tamari mempertemukan teater, musik, dan seni rupa dalam satu napas,” ujarnya.
Menurut Surya, teater seperti ini penting untuk mengingatkan publik bahwa seni adalah refleksi dari nurani, bukan sekadar tontonan.

Baca Juga :  Pastikan Kemanan dan Kenyamanan, ITDC Gelar Apel Kesiapsiagaan Natal & Tahun Baru

Disutradarai Kongso Sukoco, Dende Tamari merupakan adaptasi lokal dari tragedi klasik Yunani Antigone karya Sophocles. Dalam tangan BAM, kisah itu dilahirkan kembali dengan konteks Lombok dan nilai-nilai Sasak. Tokoh Antigone menjelma menjadi Dende Tamari—seorang perempuan desa yang berani menentang kekuasaan demi kemanusiaan.

“Tragedi disebut tragedi ketika peristiwa buruk menimpa orang baik,” kata Kongso. “Dende Tamari adalah simbol perempuan yang menolak tunduk pada kekuasaan yang semena-mena. Ia mati, tapi dari kematiannya lahir kebenaran.”

BAM berani menafsir ulang karya besar dunia menjadi kisah lokal dengan ruh Nusantara. Estetika panggung menonjolkan kekayaan Lombok: tembang tradisional, suling Sasak, kostum daerah, dan tata cahaya yang simbolik. Musik garapan Lalu Prima Wira Putra, Nurul Maulida, Ayutara Adelya, dan Nunuk Husnul memadukan instrumen tradisi dengan nuansa dramatik yang kuat.

Baca Juga :  NTB Kembali Berjaya di Kancah Nasional! Raih Juara Lomba Keamanan Pangan

Penataan cahaya oleh Fathul Ajis dan artistik Zaeni Mohammad menampilkan ruang simbolik: sumur batu tempat Dende Tamari dihukum mati menjadi metafor kekuasaan yang membungkam, namun sekaligus sumber cahaya perlawanan.

Para aktor muda BAM tampil dengan intensitas tinggi—Winsa, Dende Dila, Wulan Eryana Sain, Bagus Maulana, Hawa Metha, dan Febri Febrian berhasil menghadirkan emosi yang autentik. Dukungan teknis datang dari tim panggung Reza Ashari, Mantra Ardhana, Susan Damayanti, dan Syahrul Rozi. Tepuk tangan panjang di akhir pertunjukan menjadi bukti kuat bahwa karya ini menyentuh batin penonton.

Lebih dari sekadar pementasan, Dende Tamari adalah seruan kemanusiaan. Ia berbicara tentang keberanian perempuan dalam menegakkan kebenaran, menolak tunduk pada kekuasaan yang lalim.
“Sekarang banyak teater sibuk mengejar efek media, lupa pada kekuatan bahasa dan rasa,” ujar Kongso. “Kami ingin mengembalikan teater sebagai ruang berpikir dan bertanya.”

Baca Juga :  Inflasi NTB Februari 2024 Tembus 3 Persen, Didorong Kenaikan Harga Bahan Pokok

Melalui lakon ini, BAM mengajak publik untuk kembali mempercayai seni sebagai suara perlawanan dan kesadaran sosial. Pesannya jelas: dari Lombok, suara perempuan bersuara lantang menentang ketidakadilan.

Seni bukan hiburan,” tutup Kongso Sukoco. “Seni adalah suara hati nurani dan keberanian untuk berpihak pada kemanusiaan.

Dengan 63 pementasan hingga kini, BAM membuktikan bahwa teater masih hidup di Mataram—bukan sekadar nostalgia, melainkan gerakan budaya yang terus menyalakan api kesadaran sosial dari panggung kecil di Tanah Sasak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *