Mataram, Jurnalekbis.com – kekerasan/">Kasus kekerasan seksual kembali menggemparkan publik di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kali ini, sorotan tertuju pada penetapan IWAS, seorang penyandang disabilitas fisik, sebagai tersangka oleh Polda NTB. Status tersangka ini menimbulkan perdebatan, baik dari sisi hukum maupun kemanusiaan.
Dalam pembelaannya, IWAS mengisahkan bahwa kejadian bermula saat dirinya berjalan kaki untuk mencari makan. Seusai makan, ia merasa lelah dan mencoba meminta bantuan orang untuk mengantarnya pulang, namun upaya pertamanya ditolak.
“Awalnya saya minta tolong sama seseorang tapi tidak mau. Akhirnya, saya minta tolong kepada perempuan (korban) ini untuk mengantar saya ke kampus, dan korban mau,” ungkap IWAS. Sabtu (30/11).
Korban kemudian mengantarnya menggunakan sepeda motor. Namun, menurut IWAS, ia mengarahkan perjalanan ke sekitar Islamic Center di Mataram dan sempat “berputar-putar” sebelum menuju sebuah homestay. Di homestay itulah dugaan tindak kekerasan seksual terjadi.
“Perempuan ini ajak saya masuk ke dalam kamar, dia juga yang menutup pintu, kemudian dia buka pakaian saya. Saya tidak bisa melawan karena kondisi saya tidak punya tangan. Kalau saya melawan, pasti saya malu karena pakaian saya sudah dibuka,” tambahnya.
Setelah kejadian, korban menghubungi seseorang melalui telepon dan bertemu dengan dua pria di sekitar Islamic Center. Wayan mengaku kaget saat kemudian dituduh memperkosa korban dengan menggunakan ilmu hipnotis.

“Saya tidak memiliki ilmu hipnotis dan siap diperiksa. Saya meminta bantuan kepada Presiden Prabowo Subianto agar masalah ini cepat selesai, sehingga saya bisa kembali kuliah dan berkesenian untuk mencari nafkah bagi keluarga saya,” tegas Wayan.
Kasubdit Reskrimum Bidang Renakta Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati, menjelaskan bahwa penetapan Wayan sebagai tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang cukup, termasuk keterangan saksi dan barang bukti.
“Proses ini mengacu pada Keputusan Kapolda NTB Nomor 738 Tahun 2024 tentang pedoman penanganan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Dalam hal ini, kami memberikan layanan akomodasi khusus melalui program Laditas,” jelas Pujawati.
Ia menambahkan bahwa pasal yang diterapkan adalah Pasal 6C Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang tidak mensyaratkan adanya kekerasan fisik.
“Pasal ini cukup mengatur adanya tindakan atau pengaruh yang membuat korban tergerak untuk melakukan hubungan seksual di luar kehendaknya. Keterangan saksi dan temuan fakta juga mengungkap adanya modus serupa pada lebih dari satu korban, yang memperkuat dasar hukum penetapan tersangka,” tambahnya.
Penetapan tersangka terhadap penyandang disabilitas seperti Wayan menuai beragam respons. Sebagian masyarakat menilai bahwa kondisi disabilitas harus menjadi pertimbangan khusus dalam proses hukum. Namun, ada pula yang mendukung langkah Polda NTB sebagai bentuk penegakan hukum tanpa diskriminasi.
Pengamat hukum menekankan pentingnya memastikan proses hukum berjalan adil, termasuk memberikan akomodasi yang sesuai bagi penyandang disabilitas.
“Keberadaan program seperti Laditas adalah langkah yang baik, tetapi harus dipastikan bahwa penyandang disabilitas benar-benar mendapatkan perlakuan yang adil dan sesuai dengan hak mereka,” ujar seorang pengamat hukum dari Mataram.
Saat ini, IWAS menjalani tahanan rumah selama 20 hari ke depan sambil menunggu proses hukum lebih lanjut. Ia berharap kasus ini segera mendapatkan kejelasan, sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan dan aktivitas sehari-hari.