Mataram, Jurnalekbis.com – Sebanyak 40 karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Hotel Grand Legi Mataram, mendatangi Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB. Mereka mengadukan nasib dan menuntut hak mereka, termasuk pesangon serta uang service charge yang selama ini menjadi bagian dari pendapatan mereka.
Menurut Silaudin, salah satu perwakilan karyawan yang di-PHK, keputusan PHK ini dilakukan secara sepihak oleh pihak pengusaha, dalam hal ini CV. Multi Karya, selaku pemilik Hotel Grand Legi Mataram. Ia menyebutkan bahwa tidak ada komunikasi atau pemberitahuan resmi sebelumnya mengenai pemutusan kerja tersebut.
“Jadi beberapa hal yang memang secara aturan yang kami tuntut adalah perlakuan perusahaan terhadap kami dan teman-teman. Kami adalah korban PHK sepihak yang dilakukan oleh pengusaha dalam hal ini CV. Multi Karya atau Hotel Grand Legi Mataram,” ujar Silaudin. Senin (17/2).
Ia juga mengungkapkan bahwa PHK tersebut hanya diinformasikan melalui kepala divisi masing-masing karyawan tanpa ada pertemuan atau diskusi sebelumnya.
“Tidak ada pemberitahuan resmi, tiba-tiba kami dipanggil dan diberi tahu bahwa kami terkena PHK,” tambahnya.
Pihak hotel menyatakan bahwa keputusan PHK ini diambil karena perusahaan mengalami kerugian. Namun, Silaudin dan rekan-rekannya merasa alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahkan, ada alasan lain yang dianggap menyinggung para karyawan.
“Alasan yang paling menyakitkan adalah pihak hotel menyebut bahwa sumber daya manusia (SDM) yang ada sudah tidak layak lagi karena usia yang sudah tua. Ini pernyataan yang sangat menyakitkan bagi kami yang sudah bekerja selama puluhan tahun,” ungkapnya dengan nada emosional.
Silaudin sendiri telah bekerja di Hotel Grand Legi Mataram selama 27 tahun dan merasa memiliki sejarah panjang dengan tempat tersebut. Ia menegaskan bahwa selama bekerja, karyawan selalu berupaya menjalankan standar operasional sesuai dengan industri perhotelan dan tidak pernah mendapatkan keluhan dari pelanggan.
Para karyawan yang di-PHK ini tidak meminta sesuatu di luar aturan yang berlaku. Mereka hanya menuntut hak yang telah diatur dalam undang-undang, termasuk pesangon sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kami hanya menuntut pesangon sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kami juga meminta pembayaran service charge yang selama ini belum dibayarkan oleh pihak hotel,” tegas Silaudin.
Para karyawan menyatakan bahwa sebelum tahun 2020, mereka menerima service charge sebesar Rp500 ribu per orang setiap bulan. Namun, sejak Februari 2020, pembayaran service charge tersebut dihentikan tanpa alasan yang jelas.
“Service charge itu adalah uang yang diberikan pelanggan kepada kami, tapi sejak tahun 2020, pihak hotel tidak lagi membayarkannya kepada kami,” katanya.
Pihak pengusaha juga menyampaikan bahwa hotel akan ditutup pada 31 Desember 2024 dengan alasan merugi. Namun, karyawan mempertanyakan alasan ini karena mereka tidak melihat tanda-tanda bahwa hotel mengalami kesulitan keuangan yang signifikan.
“Kami tidak pernah melihat adanya kondisi yang benar-benar membuktikan bahwa hotel ini merugi. Justru selama ini, kami tetap menjalankan operasional dengan baik,” kata salah satu karyawan yang enggan disebut namanya.
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi NTB menerima aduan para karyawan dan menyatakan akan menindaklanjuti kasus ini dengan melakukan mediasi antara pihak karyawan dan manajemen hotel.
“Kami akan memanggil pihak manajemen hotel untuk membahas permasalahan ini. Jika memang ada hak-hak karyawan yang belum dibayarkan, maka kami akan memastikan perusahaan memenuhi kewajibannya,” ujar salah satu perwakilan Disnakertrans NTB.
Para karyawan berharap agar pemerintah dapat membantu mereka mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan aturan yang berlaku. Mereka juga menekankan bahwa mereka akan terus memperjuangkan keadilan dan tidak akan berhenti hingga tuntutan mereka dipenuhi.