Jakarta, Jurnalekbis.com – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terkemuka yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, resmi menghentikan operasionalnya pada Sabtu, 1 Maret 2025. Keputusan ini diambil setelah pengadilan menyatakan perusahaan tersebut pailit, mengakibatkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan.
Pemutusan Hubungan Kerja Massal
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo, Sumarno, mengonfirmasi bahwa sebanyak 10.665 karyawan Sritex terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Mereka bekerja sampai tanggal 28 Februari 2025, sehingga mulai 1 Maret perusahaan berhenti total. Kurator kini bertanggung jawab atas proses selanjutnya,” ujar Sumarno.
Sumarno menekankan bahwa kurator harus memastikan hak-hak karyawan, termasuk pesangon, terpenuhi. Sementara itu, jaminan hari tua, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pensiun berada di bawah pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan dan dipastikan aman.
Reaksi Karyawan dan Proses Administratif
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT Sritex, Widada, menyatakan bahwa sebagian karyawan telah mengisi surat PHK dan melengkapi dokumen untuk klaim jaminan hari tua. “Karyawan sudah menerima surat PHK untuk mengurus jaminan kehilangan pekerjaan. Namun, proses ini belum selesai sepenuhnya,” tambahnya.
Pada Jumat, 28 Februari 2025, ribuan pekerja berkumpul di area PT Sritex, Sukoharjo, untuk menghadiri acara perpisahan setelah resmi diberhentikan. Wagiyem, salah satu karyawan yang telah bekerja selama 28 tahun di Sritex, mengungkapkan bahwa perusahaan berjanji akan memenuhi seluruh hak karyawan. “Alhamdulillah, hak-hak akan diberikan, tetapi masih menunggu. Diharapkan jaminan hari tua cair bulan Maret 2025 ini. Untuk pesangon, masih menunggu proses selanjutnya,” ungkapnya.
Penyebab Kepailitan Sritex
Kepailitan Sritex tidak terjadi secara tiba-tiba. Perusahaan ini telah mengalami kerugian selama empat tahun berturut-turut sejak 2021. Dalam laporan keuangan kuartal I-2024, Sritex mencatat kerugian sebesar 14,79 juta dolar AS, meningkat 32,90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Total utang perusahaan mencapai 1,597 miliar dolar AS atau sekitar Rp 25 triliun. Jumlah karyawan tetap hingga akhir Maret 2024 juga menurun sekitar 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Gugatan pailit diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur Sritex, karena perusahaan dianggap lalai memenuhi kewajiban pembayaran utang. Meskipun manajemen Sritex telah berupaya melakukan restrukturisasi utang dan efisiensi operasional, tekanan finansial yang berat serta persaingan industri tekstil yang ketat membuat perusahaan sulit untuk bangkit.
Upaya Penyelamatan yang Dilakukan
Sebelum dinyatakan pailit, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan Sritex. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut pemerintah bersiap membantu penyelamatan melalui restrukturisasi utang yang dapat disalurkan melalui himpunan bank-bank milik negara (Himbara). Selain itu, periset ekonomi Celios, Jaya Darmawan, menyarankan pemberian bantuan langsung tunai kepada pekerja yang terkena PHK untuk mencegah dampak sosial yang lebih luas.
Perjalanan Panjang Sritex: Dari Kios Pasar hingga Ekspor ke 100 Negara
Sritex didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto pada tahun 1966 sebagai toko kain kecil bernama UD Sri Rejeki di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Berawal dari kios sederhana, usaha ini berkembang pesat, dan pada tahun 1968, Lukminto mendirikan pabrik cetak kain skala kecil di Baturono, Solo, dengan bantuan empat orang pegawai.
Pada tahun 1972, pabrik tersebut dinamakan PT Sri Rejeki Isman dan mulai terdaftar sebagai Perseroan Terbatas pada tahun 1978. Perusahaan terus berkembang, dan pada tahun 1992, Sritex memperluas pabriknya dengan menambahkan empat lini produksi: pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana. Langkah ini menjadikan Sritex sebagai pabrik terintegrasi dengan kapasitas terbesar di Asia Tenggara.
Kesuksesan Sritex tidak hanya terbatas di dalam negeri. Pada tahun 1994, perusahaan ini mendapat kepercayaan untuk memproduksi seragam militer bagi 35 negara di dunia, termasuk anggota NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman. Produk Sritex berhasil menembus pasar internasional, memasarkan produknya ke lebih dari 100 negara.
Namun, perjalanan Sritex tidak selalu mulus. Krisis ekonomi tahun 1998 menjadi tantangan besar, tetapi perusahaan berhasil bertahan dan bahkan tumbuh delapan kali lipat dibandingkan hasil produksi tahun 1992. Pada tahun 2013, Sritex melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten SRIL, menandai fase baru pertumbuhan perusahaan dengan tambahan modal dari publik.