Bisnis

PHK Mengintai, Industri Hotel NTB Tertekan Efisiensi Pemerintah

×

PHK Mengintai, Industri Hotel NTB Tertekan Efisiensi Pemerintah

Sebarkan artikel ini
PHK Mengintai, Industri Hotel NTB Tertekan Efisiensi Pemerintah
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com – Industri pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali berada di ujung tanduk. Setelah sempat bangkit dari hantaman pandemi COVID-19 dan gempa besar tahun 2018, kini sektor ini kembali tertekan akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Imbasnya langsung terasa pada tingkat hunian hotel (okupansi) dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi terkini dunia perhotelan di NTB. Dalam keterangannya, Wolini menjelaskan bahwa efisiensi anggaran pemerintah, khususnya di sektor Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE), telah memberi dampak signifikan pada okupansi hotel, terutama di kawasan Mataram dan Lombok Barat.

“Kalau di NTB, okupansi hotel per kabupaten/kota itu berbeda-beda. Misalnya Gili dan Mandalika, itu lebih ke wisatawan mancanegara (wisman), jadi tidak terlalu terdampak efisiensi anggaran karena mereka bukan pasar MICE. Tapi kalau hotel-hotel besar di kota Mataram dan Senggigi, yang basisnya MICE, sangat terasa,” ujar Wolini, Selasa (29/4/2025).

Menurutnya, saat ini efisiensi anggaran di sektor MICE memberikan tekanan serius pada hotel-hotel yang selama ini mengandalkan kegiatan rapat dan pertemuan instansi pemerintah maupun swasta sebagai sumber utama pemasukan. Ia mengungkapkan bahwa kontribusi kegiatan MICE di NTB saat ini bahkan berada di bawah 10 persen dari total aktivitas hotel, jauh dari kondisi ideal.

Baca Juga :  ITDC Gelar Apel Kesiapsiagaan Kawasan The Nusa Dua, Siap Sambut World Water Forum ke-10

Meskipun saat ini NTB tengah memasuki musim ramai (peak season), dampak efisiensi tetap terasa. “Sekarang ini memang bulan ramai, jadi okupansi sedikit membaik. Tapi kita tidak tahu kondisi ke depan bagaimana. Ada beberapa hotel di Mataram yang sama sekali anjlok, tidak berdaya,” imbuh Wolini.

Hotel-hotel besar di pusat kota dan kawasan Senggigi menjadi yang paling terdampak. Aktivitas MICE yang biasanya menjadi andalan telah berkurang drastis, menyebabkan penurunan tingkat hunian secara tajam.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sejumlah hotel mulai mengambil langkah efisiensi internal dengan tidak memperpanjang kontrak pekerja harian lepas (DW/Daily Worker). Meski PHK belum masif, langkah awal ini mengindikasikan kondisi yang mulai mengarah ke krisis ketenagakerjaan di sektor pariwisata.

“Beberapa hotel sudah konsultasi ke PHRI. Kalau kondisi ini berlanjut, tidak menutup kemungkinan mereka akan memangkas karyawan seperti saat pandemi COVID-19 dulu. Sekarang sudah banyak yang memutus kontrak DW,” kata Wolini.

Ia menambahkan, PHRI telah memberikan panduan agar hotel tidak langsung melakukan PHK terhadap karyawan tetap. Solusi seperti sistem shift, yang pernah diterapkan saat pandemi, kembali disarankan agar tenaga kerja tetap bisa dipertahankan meskipun operasional menurun.

“Kalau PHK itu langkah terakhir. Kami di PHRI minta agar hotel mencoba sistem shift dulu. Kalau benar-benar tidak bisa, baru ambil langkah PHK,” jelasnya.

Baca Juga :  Harga Tiket Jakarta - Lombok Mahal, Ini Kata Karman BM

Ketua PHRI NTB ini mengingatkan bahwa industri pariwisata NTB telah tiga kali dihantam krisis besar dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir—dimulai dari gempa 2018, pandemi COVID-19 pada 2020, dan kini efisiensi anggaran yang membatasi perputaran ekonomi di sektor pariwisata.

“Kalau ini terus-terusan, akan mengarah pada kondisi emergensi ekonomi. Hotel-hotel di NTB ini adalah penyumbang PAD yang besar. Investasinya juga tidak kecil, bukan ecek-ecek. Kalau pariwisata stuck, semua sektor ikut lumpuh, termasuk UMKM, suplier, transportasi, sampai pekerja informal,” ungkapnya.

Wolini secara tegas menyayangkan efisiensi yang menyasar sektor pariwisata, khususnya kegiatan MICE. Menurutnya, kebijakan ini bisa menjadi blunder karena sektor pariwisata merupakan salah satu penggerak utama ekonomi daerah, yang efeknya menjalar ke berbagai lini, mulai dari jasa transportasi, kuliner, hingga sektor kerajinan dan UMKM.

“PHRI berharap tidak ada efisiensi di bidang pariwisata karena sektor ini sangat sensitif. Kalau stuck, efeknya kemana-mana. Pemerintah harus cepat ambil sikap,” tegasnya.

Melihat kondisi yang semakin mengkhawatirkan, PHRI NTB mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera memberikan perhatian serius terhadap kelangsungan industri perhotelan dan pariwisata NTB. Wolini berharap ada stimulus atau kebijakan afirmatif yang dapat menyelamatkan sektor ini dari ancaman stagnasi.

Salah satu harapan utama adalah agar alokasi anggaran untuk kegiatan MICE bisa kembali digulirkan, terutama bagi pemerintah daerah dan kementerian/lembaga yang selama ini menjadi pengguna jasa utama hotel-hotel berbasis MICE.

Baca Juga :  Pemerintah Kembali Berikan Bantuan Pangan Beras Kepada Warga Miskin

“Jangan sampai ada efisiensi justru di sektor yang menopang PAD dan membuka lapangan kerja besar-besaran. Pemerintah harus melihat kondisi di lapangan secara objektif, bukan hanya berdasar angka di atas kertas,” tambahnya.

Dalam catatan PHRI NTB, sektor perhotelan bukan hanya penghasil pendapatan asli daerah (PAD), tapi juga merupakan pendorong utama geliat ekonomi masyarakat. Banyak UMKM yang menggantungkan hidup dari pasokan kebutuhan hotel, seperti makanan, minuman, laundry, hingga souvenir.

Investasi di sektor hotel juga melibatkan nilai besar. Hotel bintang tiga ke atas, terutama di kawasan Mandalika, Mataram, dan Senggigi, umumnya dibangun dengan modal miliaran hingga ratusan miliar rupiah. Jika sektor ini stagnan, akan terjadi capital loss dan kepercayaan investor bisa goyah.

Ke depan, kelangsungan sektor pariwisata NTB sangat tergantung pada arah kebijakan pemerintah. Apakah pemerintah akan memberikan stimulus dan insentif untuk memperkuat pemulihan sektor ini, atau justru terus melakukan pemangkasan anggaran yang berpotensi memperburuk kondisi.

PHRI NTB menyatakan siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam menjaga kestabilan sektor pariwisata, namun mereka juga menuntut komitmen nyata dari pemerintah untuk melindungi keberlanjutan industri pariwisata di daerah yang selama ini menjadi andalan Indonesia bagian timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *