Mataram, Jurnalekbis.com – Dua kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di lingkungan pondok pesantren (ponpes) di wilayah Mataram, Nusa Tenggara Barat, memicu perhatian serius dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI). Ketua Komnas HAM RI, Dr. Atnike Nova Sigiro, bahkan turun langsung ke Mataram untuk berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait penanganan kedua kasus yang sempat viral dan menimbulkan keresahan di masyarakat tersebut.
Kedua kasus yang menjadi sorotan adalah dugaan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang santriwati asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pondok Pesantren Aziziyah, Kapek, Gunungsari, serta dugaan pelecehan dan persetubuhan terhadap santriwati di Ponpes Nabi Nubu, Kekait, Gunungsari. Sensitivitas kasus yang melibatkan lembaga pendidikan keagamaan ini semakin meningkatkan atensi publik dan mendorong Komnas HAM RI untuk mengambil langkah proaktif.
Sebagai wujud keseriusan dalam mengusut tuntas kedua kasus ini, Ketua Komnas HAM RI, Dr. Atnike Nova Sigiro, bersama timnya menggelar rapat koordinasi khusus dengan Polresta Mataram. Pertemuan penting ini berlangsung di Ruang Presisi Polda NTB pada Rabu (30/04/2025), menunjukkan sinergi awal antara lembaga negara yang berwenang dalam penegakan HAM dengan aparat penegak hukum di tingkat daerah.
Rapat koordinasi tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat penting yang terkait langsung dengan penanganan kasus. Di antaranya adalah Kabid Propam Polda NTB yang memiliki peran dalam pengawasan internal kepolisian, Kapolresta Mataram sebagai pimpinan tertinggi kepolisian di wilayah hukum Mataram, Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB yang membidangi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Kasat Reskrim Polresta Mataram AKP Regi Halili, S.Tr.K., S.I.K., yang bertanggung jawab atas jalannya penyidikan, serta perwakilan dari Bid Humas Polda NTB yang bertugas menyampaikan informasi kepada publik.
Kehadiran para pejabat kunci ini mengindikasikan betapa pentingnya koordinasi lintas fungsi dalam penanganan kasus-kasus sensitif seperti dugaan pelanggaran HAM, terutama yang melibatkan anak-anak dan terjadi di lingkungan pendidikan. Komnas HAM RI ingin memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan, akuntabel, dan berpihak pada korban.
Dalam rapat koordinasi tersebut, Kasubdit IV PPA Ditreskrimum Polda NTB dan Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, memaparkan secara detail perkembangan terkini dari proses penyelidikan dan penyidikan kedua kasus yang menjadi perhatian publik. Penjelasan rinci ini penting bagi Komnas HAM RI untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh pihak kepolisian.
AKP Regi mengungkapkan adanya sedikit hambatan dalam proses penyidikan kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian santriwati asal NTT di Ponpes Aziziyah. Kendala utama adalah keberadaan salah satu saksi kunci yang saat ini berada di luar negeri.

“Saksi kunci telah dikeluarkan oleh pihak pondok dan saat ini bekerja di Arab Saudi, sehingga kami kesulitan mendapatkan keterangan langsung darinya,” jelas AKP Regi. Pernyataan ini mengindikasikan perlunya kerjasama internasional dalam proses pengungkapan kasus ini, mengingat keterangan saksi kunci bisa menjadi elemen penting dalam menentukan fakta dan обстоятельства yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, perkembangan signifikan terjadi dalam kasus dugaan pelecehan dan persetubuhan terhadap santriwati di Ponpes Nabi Nubu. AKP Regi mengonfirmasi bahwa tersangka dalam kasus ini telah berhasil ditahan oleh pihak kepolisian. Penahanan tersangka merupakan langkah maju dalam proses penegakan hukum.
Namun, Komnas HAM RI tidak ingin kasus ini berhenti pada satu tersangka. Lembaga negara ini meminta agar penyidikan diperluas untuk mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
“Komnas HAM meminta agar dilakukan pengembangan lebih lanjut untuk memastikan apakah ada pelaku lain yang terlibat dalam kasus ini,” tegas AKP Regi, menyampaikan permintaan dari Komnas HAM RI. Permintaan ini menunjukkan komitmen Komnas HAM RI untuk memastikan bahwa seluruh pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya dugaan pelanggaran HAM ini dapat diidentifikasi dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selain fokus pada aspek penegakan hukum, Komnas HAM RI juga menekankan pentingnya koordinasi yang baik antara aparat penegak hukum dengan pemerintah daerah (Pemda) di Nusa Tenggara Barat. Koordinasi ini dianggap krusial untuk memastikan penanganan kasus berjalan secara transparan dan akuntabel. Keterlibatan Pemda diharapkan dapat memberikan dukungan, terutama dalam hal pemulihan psikologis dan sosial bagi para korban.
“Kami siap menindaklanjuti koordinasi dengan Komnas HAM RI sesuai arahan dalam rapat, baik terkait data maupun langkah-langkah hukum lanjutan,” pungkas AKP Regi, menunjukkan komitmen Polresta Mataram untuk bekerja sama secara konstruktif dengan Komnas HAM RI.
Kedua kasus ini telah menjadi perhatian luas masyarakat, terutama karena terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman dan mendidik bagi anak-anak. Komnas HAM RI menyadari betul dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh kasus-kasus seperti ini, tidak hanya bagi korban dan keluarga, tetapi juga bagi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan keagamaan.
Oleh karena itu, Komnas HAM RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum kedua kasus ini secara objektif. Tujuannya jelas, yaitu untuk memastikan hak-hak para korban terpenuhi, keadilan dapat ditegakkan, dan kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan. Keterlibatan langsung Ketua Komnas HAM RI menjadi sinyal kuat bahwa lembaga ini tidak akan tinggal diam dalam menghadapi dugaan pelanggaran HAM, terutama yang melibatkan kelompok rentan seperti anak-anak.
Pengawalan kasus ini oleh Komnas HAM RI diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarga, sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku. Selain itu, transparansi dalam proses penanganan kasus juga penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan lembaga pendidikan.
Langkah Komnas HAM RI ini juga menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk pengelola lembaga pendidikan, untuk lebih meningkatkan pengawasan dan menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak. Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pencegahan kekerasan dan pelecehan di segala lingkungan, serta perlunya mekanisme pelaporan dan penanganan yang efektif jika terjadi insiden serupa.