Mataram, Jurnalekbis.com– Meski dihantam tekanan eksternal dan kontraksi di sektor tambang, perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB) tetap menunjukkan daya tahan kuat di sektor non-tambang. Data terbaru Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTB yang dirilis 7 Mei 2025 menyebutkan bahwa pada triwulan I 2025, ekonomi NTB mengalami kontraksi sebesar -1,47% (yoy), namun sektor non-tambang tumbuh signifikan sebesar 5,57% (yoy).
Kontraksi ini utamanya disebabkan oleh berakhirnya relaksasi ekspor konsentrat dan terbatasnya produksi pertambangan fase 8. Meski demikian, kinerja sektor domestik seperti konsumsi rumah tangga dan pertanian tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi daerah.
“Sektor tambang memang tertekan, tapi pertanian, konsumsi rumah tangga, dan investasi tetap menunjukkan sinyal pemulihan yang kuat,” ujar Kepala Kantor Perwakilan BI NTB, Berry Arifsyah Harahap. Kamis (8/5).
Kontraksi ekonomi NTB pada awal 2025 tak lepas dari dampak penurunan ekspor. Hal ini disebabkan oleh selesainya periode relaksasi ekspor konsentrat tembaga dan lambatnya peningkatan kapasitas produksi smelter, yang hingga kini baru mencapai 48% dari target.
Produksi tambang dari fase ke-8 juga tercatat lebih rendah, sehingga menambah tekanan pada struktur PDRB NTB yang selama ini sangat bergantung pada sektor pertambangan.
“Kinerja ekspor memang menurun karena fase siklus tambang sedang berada di titik rendah. Ini sudah diprediksi sejak tahun lalu,” jelasnya.
Meskipun sektor tambang melemah, konsumsi rumah tangga (RT) tetap tumbuh kuat dan menjadi penopang utama ekonomi NTB. Pada triwulan I 2025, konsumsi RT tumbuh sebesar 4,89% (yoy).
Momentum Ramadan dan pencairan THR menjelang Idulfitri menjadi faktor utama yang mendorong daya beli masyarakat, terutama di sektor makanan, transportasi, dan rekreasi.
“Aktivitas belanja masyarakat sangat hidup pada Maret dan April. Hal ini jadi penyelamat dari kontraksi yang lebih dalam,” imbuhnya.
Pada periode April 2025, NTB mencatatkan inflasi sebesar 0,69% (mtm), turun signifikan dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 2,40%. Secara tahunan, inflasi NTB tercatat di angka 1,80% (yoy) — masih dalam koridor target Bank Indonesia sebesar 2,5±1%.
Inflasi bulanan dipicu oleh kembali normalnya tarif angkutan udara setelah diskon mudik lebaran, serta tren kenaikan harga emas global dan tarif listrik. Namun, peningkatan harga ini tertahan oleh panen raya cabai dan meningkatnya pasokan pangan.

“Inflasi terkendali merupakan fondasi penting untuk menjaga daya beli masyarakat,” jelasnya.
Di tengah ketidakpastian global, sektor perbankan di NTB tetap mencatat kinerja positif. Pertumbuhan kredit berdasarkan lokasi proyek tercatat 12,47% (yoy) pada triwulan I 2025. Ini menunjukkan bahwa proyek-proyek produktif di sektor riil terus berjalan.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) masih terkendali di angka 1,63%, jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan OJK.
Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh relatif lambat hanya 1,34% (yoy), dipengaruhi oleh penurunan DPK Pemerintah dan Korporasi. Namun, DPK dari rumah tangga tumbuh pesat hingga 12,94% (yoy), menunjukkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan.
Digitalisasi sistem pembayaran di NTB juga menunjukkan perkembangan pesat. Jumlah pengguna QRIS per Maret 2025 mencapai 485 ribu, sedangkan jumlah merchant tercatat sebanyak 363 ribu. Volume transaksi menggunakan QRIS melonjak hingga 6,42 juta kali, menunjukkan pergeseran perilaku pembayaran masyarakat ke arah digital.
Penggunaan kartu APMK tumbuh 12,44% dan uang elektronik tumbuh 27,76% (yoy). Ini menunjukkan transformasi digital keuangan telah merambah hingga ke pelosok NTB.
Meski ekonomi NTB mengalami kontraksi di awal tahun, prospek tahun 2025 tetap positif, terutama di sektor non-tambang yang diperkirakan tumbuh di kisaran 6,1–6,9% (yoy). Ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDRB secara keseluruhan.
Beberapa faktor pendorong utama antara lain panen padi dan jagung yang lebih baik berkat cuaca stabil,Pertumbuhan sektor industri pengolahan seiring operasionalisasi smelter dan PMR. Kenaikan target kunjungan wisatawan mancanegara (7,77%) dan penambahan cuti bersama.
Namun demikian, BI juga mencermati beberapa risiko ekonomi yang dapat menahan laju pertumbuhan, seperti penurunan permintaan global, terutama dari Tiongkok dan AS akibat perang tarif, Kenaikan PPN menjadi 12%, yang berpotensi menurunkan konsumsi, dan pagu belanja daerah yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Bank Indonesia bersama pemerintah daerah merumuskan tiga strategi utama untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi NTB yaitu Penguatan Sektor Pertanian dengan mendukung bibit unggul, teknologi modern, dan kelembagaan petani.
Mendorong Investasi Industri Pengolahan Pangan, termasuk business matching antara petani, investor, dan pelaku industry, dan Dorong Investasi dan Aksesibilitas Pariwisata,t erutama di kawasan strategis seperti mandalika/">KEK Mandalika, serta penguatan konektivitas antar wilayah.
“Strategi ini diharapkan mengurangi ketergantungan NTB pada sektor tambang, dan memperkuat ekonomi berbasis kerakyatan,” Pungkas Berry .