Mataram, Jurnalekbis.com -Kekhawatiran masyarakat terhadap maraknya kasus seksual/">pelecehan seksual di lingkungan pesantren mendorong Majelis Ta’lim Darunnajah Al-Irsyadi mengambil langkah kreatif. Melalui peringatan Milad tahun ini, lembaga yang dipimpin oleh Ustaz Ahmad Asdaruddin, S.Sos., menggelar Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Nasional dengan tema besar seputar dunia pesantren. Tujuannya bukan hanya sekadar menggelorakan semangat literasi, tetapi juga mengubah citra negatif pesantren menjadi narasi yang lebih objektif dan humanis.
Dalam beberapa tahun terakhir, kepercayaan sebagian orang tua terhadap lembaga pendidikan pesantren sempat terguncang. Hal ini dipicu oleh kasus-kekerasan/">kasus kekerasan seksual yang terungkap di beberapa pondok pesantren indonesia/">di Indonesia. Dampaknya, setiap menjelang tahun ajaran baru, keresahan mulai merebak di kalangan masyarakat. Banyak orang tua mempertimbangkan ulang keputusan mereka untuk menyekolahkan anak ke lembaga pesantren, yang sebelumnya dikenal sebagai tempat menimba ilmu agama sekaligus pendidikan karakter.
“Ini menjadi latar belakang kami menyelenggarakan lomba cerpen bertema pesantren. Kami ingin mengalihkan perhatian publik dari kasus-kasus negatif ke sisi-sisi positif yang selama ini juga menjadi wajah pesantren,” ujar Ustaz Ahmad Asdaruddin, Rabu (4/6/2025).
Menurut Ustaz Ahmad, langkah ini diambil bukan sekadar untuk membela pesantren secara membabi buta, tetapi untuk mendorong lahirnya narasi yang lebih beragam. Bagi panitia, jika yang berbicara adalah pihak pondok, publik mungkin akan mencurigai sebagai upaya pembelaan sepihak atau bahkan kampanye. Namun bila narasi itu hadir dari luar—terutama dari remaja, pelajar, dan santri sendiri—maka akan muncul pandangan yang lebih jujur dan membumi.
“Kami percaya, melalui lomba ini, tema pesantren akan dibedah dari berbagai sisi. Bukan sekadar menonjolkan sisi idealnya, tapi juga mengkritisi secara bijak. Inilah yang akan membangun pemahaman masyarakat secara utuh,” jelasnya.

Lomba cerpen ini terbuka secara nasional, namun kegiatan ini bermula dari keprihatinan lokal—khususnya di Desa Mamben, tempat Majelis Ta’lim Darunnajah Al-Irsyadi berdiri. Ustaz Ahmad menyayangkan minimnya aktivitas literasi di kalangan generasi muda saat ini. Ia menyebut bahwa dunia menulis dan membaca di desa tersebut saat ini tinggal kenangan. Anak-anak dan remaja nyaris tak tersentuh budaya membaca, apalagi menulis.
“Di Mamben, literasi sudah seperti nostalgia. Dulu ada anak-anak menulis, membaca, berkarya, sekarang sepi. Ini sangat memprihatinkan. Maka kegiatan lomba ini menjadi langkah awal kami membangkitkan kembali semangat literasi dari akar rumput,” tegasnya.
Lebih jauh, Ustaz Ahmad menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar lomba sekali jadi. Panitia berencana membentuk Lembaga Literasi khusus yang akan membina anak-anak sejak tingkat SD, SMP, hingga SMA. Lembaga ini akan menjadi wadah pembinaan dunia tulis-menulis secara berkelanjutan, baik fiksi seperti cerpen maupun tulisan nonfiksi lainnya.
“Kami ingin anak-anak ini punya ruang untuk berpikir, membaca, dan menulis. Jangan sampai mereka hanya jadi penonton dari perubahan zaman. Harus ikut terlibat, dengan karya dan ide-ide segar mereka,” paparnya.
Salah satu pendekatan yang diambil adalah mendorong partisipasi remaja sebagai motor utama perubahan narasi. Tema besar pesantren dalam lomba cerpen ini menjadi alat untuk mengajak mereka mengangkat sisi lain kehidupan santri yang inspiratif—baik dalam bentuk humor, perjuangan, spiritualitas, atau bahkan konflik personal yang membentuk karakter.
Dengan dominasi peserta remaja, pihak penyelenggara berharap hasil karya yang muncul tidak hanya menjadi bahan bacaan, tetapi juga membuka mata publik bahwa pesantren tidak identik dengan kekerasan atau penyimpangan. Justru banyak nilai luhur yang perlu diketahui masyarakat luas.
Lomba ini, secara tidak langsung, merupakan bentuk restorasi kepercayaan masyarakat terhadap pesantren. Dengan karya-karya yang menggambarkan realitas dari dalam, akan muncul narasi yang lebih jujur. Harapannya, publik bisa melihat bahwa pesantren bukanlah institusi sempurna, tapi memiliki nilai-nilai luhur yang terus diperjuangkan.
“Isu negatif harus kita imbangi dengan isu positif. Bukan menutupi, tapi menyuguhkan sudut pandang lain yang jujur, adil, dan tidak bias. Lewat cerpen, ini bisa lebih menyentuh,” jelas Ustaz Ahmad.