Mataram, Jurnalekbis.com – Forum Rakyat Nusa Tenggara Barat (ntb/">FR NTB) resmi melaporkan dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Bandara Internasional Lombok (BIL) ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB pada Selasa, 1 Juli 2025. Laporan tersebut memuat dua insiden yang menghebohkan publik: biaya parkir yang tidak wajar dan pungli oleh oknum petugas keamanan saat proses check-in penumpang.
Langkah hukum ini dilakukan sebagai respons atas berbagai keluhan masyarakat yang merasa dirugikan saat menggunakan layanan di bandara yang menjadi gerbang utama masuknya wisatawan ke Nusa Tenggara Barat. Ketua FR NTB, Hendra Saputra, menyatakan bahwa kejadian ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi telah menyentuh ranah pidana dan menyangkut citra daerah di mata publik nasional dan internasional.
Laporan resmi yang diajukan FR NTB memuat dua kejadian berbeda yang sama-sama terjadi di area Bandara Internasional Lombok. Insiden pertama menimpa seorang warga Lingsar, Lombok Barat, bernama Ahmad Yani. Ia mengaku harus membayar tarif parkir sebesar Rp360 ribu, meskipun hanya memarkir mobil kurang dari satu jam di area kedatangan BIL pada Jumat malam, 28 Juni 2025.
“Saya pakai sistem QRIS, begitu di-scan muncul tagihan Rp360 ribu. Petugas parkir pun kaget dan bilang itu karena sistem,” ungkap Yani kepada media. Ia juga menyatakan kejanggalan lain, yakni nama merchant pembayaran yang muncul bukan milik pengelola resmi bandara, melainkan atas nama “Parkee” dengan alamat di Jakarta Barat.
Temuan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada pihak ketiga yang memanfaatkan sistem digital pembayaran untuk menarik keuntungan tidak sah di area bandara. Fakta ini menjadi salah satu lampiran penting dalam laporan yang diajukan ke Polda NTB.
Kasus kedua bahkan lebih meresahkan. Sejumlah penumpang mengaku diminta uang oleh oknum petugas keamanan bandara ketika hendak masuk ke area check-in. Salah satu korbannya adalah Sri Sundari, warga Bima, NTB.
“Kami diminta bayar Rp80 ribu per orang, katanya karena tiket kami kolektif. Katanya bisa ditangkap polisi kalau masuk bareng-bareng. Akhirnya kami bayar Rp50 ribu per orang karena waktu sudah mepet,” jelas Sundari, yang saat itu bepergian bersama keluarganya.

Menurut Sundari, kejadian ini dialami pula oleh kelompok penumpang lainnya, bahkan ada yang diminta hingga Rp100 ribu per orang. Bila menolak, mereka diancam akan ditahan dan dilarang ikut penerbangan.
Ketua FR NTB, Hendra Saputra, menegaskan bahwa laporan ke Polda NTB dilengkapi dengan foto, video, dan testimoni para korban. Ia berharap aparat penegak hukum segera menindaklanjuti laporan tersebut dengan proses hukum yang adil dan transparan.
“Bandara adalah wajah daerah. Ini bukan hanya soal uang, tapi menyangkut integritas, pelayanan publik, dan keamanan. Jangan sampai tindakan oknum-oknum ini merusak kepercayaan publik dan wisatawan terhadap NTB,” tegas Hendra.
Pihaknya juga mengirimkan tembusan surat pengaduan ke DPRD NTB, sebagai bentuk tekanan kepada pihak legislatif untuk ikut mengawasi dan mendorong audit menyeluruh terhadap sistem pelayanan di Bandara Lombok.
FR NTB juga meminta manajemen Bandara Internasional Lombok untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran parkir. Hal ini mengingat keterlibatan pihak ketiga dalam sistem pembayaran QRIS yang mencurigakan dan tidak transparan.
“Kalau sistemnya digital, kenapa bisa muncul merchant tak dikenal? Ini harus dibongkar. Audit harus dilakukan, dan pihak yang bermain harus dihukum,” kata Hendra.
Ia juga menambahkan, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan mengancam kredibilitas sistem transportasi udara di NTB, yang selama ini digadang-gadang sebagai pintu masuk wisata halal dan sport tourism nasional.
Menanggapi laporan tersebut, pihak Humas Bandara Internasional Lombok, Arif Haryanto, mengaku menghormati langkah masyarakat yang melapor ke Polda. Ia menyebut bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan aduan, dan pihaknya tidak menutup diri terhadap kritik dan masukan.
Terkait kasus parkir, Arif mengatakan bahwa permasalahan tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan antara PT Angkasa Pura Support (APS) selaku pengelola parkir dan pengguna jasa.
“Masalah tarif parkir sebelumnya memang sempat muncul, tapi sudah ditangani langsung dan selesai secara baik-baik,” ujarnya.
Namun untuk dugaan pungli oleh petugas keamanan, Arif menyebut pihaknya masih melakukan investigasi internal secara mendalam. “Kami tengah menelusuri kronologi dan mencari tahu siapa yang terlibat. Kami mohon masyarakat bersabar,” imbuhnya.
Dugaan pungli di Bandara Lombok sebenarnya mencerminkan fenomena nasional yang kerap terjadi di fasilitas publik, terutama di titik-titik strategis seperti bandara, pelabuhan, terminal, hingga rumah sakit.
Menurut laporan Ombudsman RI tahun 2024, sektor transportasi dan pelayanan publik menjadi dua dari lima sektor dengan aduan pungli terbanyak secara nasional. Modusnya beragam, mulai dari parkir liar, akses masuk prioritas, hingga pungli berkedok bantuan petugas.
“Kalau dibiarkan, praktik semacam ini akan membudaya. Butuh ketegasan dari manajemen bandara dan aparat hukum,” kata Indra Prasetya, pengamat pelayanan publik dari Universitas Mataram.