Mataram, Jurnalekbis.com – Di tengah dominasi perbankan dari kota-kota besar di Pulau Jawa, sebuah institusi keuangan syariah dari Nusa Tenggara Barat (NTB) sukses mencetak sejarah. Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) Dinar Ashri, atau yang lebih dikenal sebagai Bank Dinar, resmi menjadi BPRS dengan aset tertinggi indonesia/">di Indonesia per Juli 2025. Capaian ini menjadi tonggak penting bagi industri BPRS nasional dan menunjukkan bahwa pelaku usaha keuangan daerah mampu bersaing secara nasional bila dikelola dengan strategi yang tepat.
Direktur Utama Bank Dinar, Mustaen, menyampaikan bahwa total aset bank yang dipimpinnya per akhir Juli mencapai Rp1,843 triliun. Angka ini melonjak signifikan dari posisi Juni 2025 yang berada di level Rp1,754 triliun, menandai kenaikan aset sebesar Rp89 miliar hanya dalam satu bulan.
“Alhamdulillah, per Juli ini kami menjadi nomor satu secara nasional. Pembiayaan kami mencapai Rp1,665 triliun dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp1,180 triliun,” ujar Mustaen dengan optimisme tinggi.
Kenaikan ini menjadi penegasan akan kapasitas Bank Dinar dalam mengelola dana masyarakat dan menyalurkannya ke sektor pembiayaan yang sehat dan terukur.
Mustaen menjelaskan bahwa pertumbuhan pesat ini bukan hasil dari keberuntungan sesaat, melainkan buah dari strategi ekspansi yang terarah, terukur, dan berani mengambil risiko. Salah satu pendorong utama pertumbuhan aset adalah kenaikan DPK sebesar Rp48 miliar, yang sebagian besar didukung oleh linked account dari bank umum.
“Kami tidak sekadar berekspansi tanpa perhitungan. Setiap langkah kami evaluasi, dari penggalangan dana hingga penyaluran pembiayaan,” tegas Mustaen.
Dalam lanskap perbankan syariah yang semakin kompetitif, Bank Dinar tampil sebagai entitas yang mengusung prinsip kehati-hatian sembari tetap adaptif terhadap perubahan pasar.
Capaian ini menjadi luar biasa karena diraih oleh institusi yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, salah satu provinsi dengan porsi keuangan terkecil secara nasional. Berdasarkan data OJK, NTB termasuk dalam 12 provinsi terbawah dalam hal kontribusi keuangan nasional, namun hal itu tidak menghalangi Bank Dinar untuk melesat ke posisi puncak.

“NTB itu termasuk 12 provinsi dengan porsi keuangan terbawah. Tapi kami membuktikan, dengan strategi yang tepat dan keberanian bergerak, kami bisa melampaui yang lain,” tutur Mustaen.
Capaian ini diharapkan menjadi inspirasi bagi BPRS lainnya di luar Pulau Jawa untuk berani bermimpi besar dan melakukan transformasi.
Bank Dinar juga dikenal dengan portofolio pembiayaannya yang cukup unik dan terarah. Dari total pembiayaan Rp1,665 triliun, sekitar 54% disalurkan ke sektor konsumtif, 23,7% ke pembiayaan berbasis emas dan Sisanya tersebar di sektor riil dan properti
Namun demikian, Mustaen menolak asumsi bahwa pembiayaan konsumtif tidak produktif. Menurutnya, banyak pembiayaan konsumsi justru berfungsi sebagai modal usaha masyarakat kecil.
“Misalnya beli motor, tapi dipakai untuk ojek online atau usaha keliling. Itu konsumtif yang sebenarnya produktif,” jelasnya.
Pendekatan ini sekaligus mempertegas positioning Bank Dinar sebagai mitra strategis masyarakat kecil-menengah, yang seringkali tidak terlayani oleh bank besar.
Salah satu sorotan utama dari kinerja Bank Dinar adalah bahwa pertumbuhan aset mereka murni berasal dari aktivitas produktif, bukan hasil dari revaluasi aset tetap seperti gedung atau kendaraan.
“Gedung kami kecil, kendaraan juga sedikit. Kami ingin aset naik dari aktivitas bisnis yang produktif, bukan dari revaluasi yang hanya menyenangkan mata,” ujar Mustaen dengan tegas.
Pernyataan ini menegaskan bahwa Bank Dinar menganut prinsip keuangan yang transparan dan berorientasi pada fundamental bisnis yang sehat.
Meski mencetak prestasi nasional, Mustaen menyampaikan bahwa tantangan ke depan justru semakin besar, khususnya dalam hal pengawasan dan regulasi. Ia berharap agar regulator tidak membatasi ruang gerak BPRS dalam berinovasi, terutama di era digital yang sarat kompetisi dengan fintech dan lembaga non-bank lainnya.
“Kami berharap regulasi diarahkan untuk mendorong pertumbuhan, bukan mengekang. Industri BPRS ini padat aturan, sementara pelaku lain seperti fintech bisa lebih longgar,” ungkapnya.
Ia mengajak OJK dan otoritas terkait untuk memberikan perlakuan yang lebih adil bagi BPRS agar dapat tumbuh berkelanjutan dan tetap relevan di era transformasi digital.
Bank Dinar tidak berpuas diri hanya karena berhasil menduduki posisi puncak. Mustaen menegaskan bahwa komitmen Bank Dinar adalah untuk terus tumbuh, bukan hanya mempertahankan posisi.
“Kami tidak punya niat untuk sekadar mempertahankan posisi. Kami akan terus tumbuh. Bertahan itu adalah bentuk pertahanan yang paling lemah,” pungkasnya.
