Mataram, Jurnalekbis.com — Kisah memilukan datang dari Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seorang balita perempuan bernama Arumi, baru berusia 16 bulan, harus menjalani amputasi tangan akibat dugaan malpraktik medis yang dialaminya setelah dirujuk ke fasilitas kesehatan di daerahnya. Kasus ini sontak menjadi sorotan publik dan menuai keprihatinan luas atas kualitas layanan kesehatan di wilayah tersebut.
Orang tua Arumi, Andika dan Marliana, dengan didampingi kuasa hukum, mendatangi Dinas Kesehatan Provinsi NTB di Mataram pada hari Senin (16/6/2025). Mereka menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban dari pihak-pihak medis yang menangani anak mereka sebelum terjadi tindakan amputasi yang dianggap kelalaian fatal.
Menurut penuturan Andika, sang ayah, Arumi awalnya hanya mengalami gejala demam disertai muntah-muntah. Keluarga lantas membawa sang anak ke Puskesmas Bolo untuk mendapat perawatan. Namun, setelah empat hari kondisi Arumi tak kunjung membaik, barulah dilakukan rujukan ke RS Sondosia. Hasil pemeriksaan laboratorium baru menunjukkan dugaan Demam Berdarah Dengue (DBD), dan itu pun atas permintaan keluarga sendiri.
“Awalnya anak kami hanya demam dan muntah. Dugaan DBD itu pun baru muncul setelah kami minta agar diperiksa lebih lanjut. Empat hari anak kami tak kunjung membaik, tapi tidak ada tindakan signifikan,” ungkap Andika.
Namun, perjalanan Arumi justru berujung tragis. Bukannya sembuh, balita mungil itu malah harus kehilangan salah satu tangannya akibat komplikasi yang diduga akibat penanganan medis yang tidak sesuai prosedur.
Andika mengaku kecewa dan merasa tidak mendapat respons memadai dari tenaga medis yang terlibat dalam perawatan Arumi.

“Kami sebagai orang tua, kalau dibilang menerima atau tidak, jujur kami tidak terima. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus berjuang demi anak kami. Yang kami harapkan adalah ada pertanggungjawaban, atau setidaknya pihak-pihak itu angkat bicara. Tapi jangankan bertanggung jawab, bicara pun tidak,” tegasnya.
Tak hanya kehilangan anak yang sehat, Andika juga harus merelakan pekerjaannya karena belum ada jadwal operasi lanjutan untuk Arumi. Ia pun masih menanti kepastian dari pihak medis.
“Saya terpaksa berhenti kerja. Anak saya masih butuh operasi plastik, tapi belum dijadwalkan,” tambahnya.
Sementara itu, sang ibu, Marliana, tak kuasa menyembunyikan kesedihan dan kemarahannya. Menurutnya, pertemuan yang difasilitasi Dinas Kesehatan NTB hanya menghadirkan perwakilan rumah sakit, bukan tenaga medis yang terlibat langsung dalam penanganan Arumi.
“Yang hadir tadi hanya Direktur, bukan tenaga medis yang menangani anak saya. Saya ingin tahu bagaimana perasaan mereka, karena sekarang anak saya sudah cacat. Kalau tidak ada itikad baik, kami akan menempuh jalur hukum,” katanya.
Pelaksana Harian Kepala Dinas Kesehatan NTB, Tutik Hermawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah memfasilitasi pertemuan antara keluarga Arumi dan beberapa pihak terkait, termasuk dari Puskesmas Bolo, Puskesmas Sondosia, RSUD Bima, serta Dinas Kesehatan Kabupaten Bima.
“Kami berharap ada jalan terbaik yang bisa ditempuh secara kekeluargaan. Pihak fasilitas kesehatan juga menyatakan kesiapannya membantu keluarga Arumi,” jelas Tutik..
Tutik menambahkan, besok dijadwalkan akan dilakukan operasi plastik terhadap Arumi. Namun, ia menegaskan bahwa kewenangan untuk menentukan apakah ini termasuk malpraktik bukan berada pada ranah Dinas Kesehatan Provinsi.
“Terkait dugaan malapraktik, saya tidak memiliki wewenang untuk menentukan. Itu ada proses hukum tersendiri. Tapi kasus ini menjadi pelajaran penting bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan,” lanjutnya.