Mataram, Jurnalekbis.com – Ketegangan geopolitik yang terjadi antara Iran dan Israel menjadi salah satu sorotan penting dalam dinamika ekonomi global beberapa pekan terakhir. Di tengah ketidakpastian yang terus berlangsung, sejumlah indikator ekonomi mulai menunjukkan reaksi, salah satunya adalah pergerakan harga minyak mentah dunia.
Namun demikian, menurut Barry Arifsyah Harahap, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat (BI NTB), hingga saat ini dampak nyata dari konflik tersebut terhadap ekspor dan aktivitas ekonomi di NTB belum terlalu terlihat secara signifikan. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara terbaru yang menyoroti dinamika makroekonomi dan risiko global yang sedang berlangsung.
“Kalau ekspor dari geopolitik Iran-Israel, sampai saat ini belum terlihat secara langsung. Yang paling terlihat mungkin dari sisi harga minyak,” ujar Barry. Selasa (24/6).
Salah satu dampak paling awal yang terlihat dari konflik geopolitik di Timur Tengah adalah kenaikan harga minyak mentah global, khususnya jenis West Texas Intermediate (WTI). Menurut Barry, harga WTI yang semula berada di bawah USD 70 per barel, kini mulai naik mendekati USD 76 per barel.
“Sebenarnya masih di kisaran harga 70-an dolar. Kalau sudah tembus di atas itu, baru kita mulai khawatir karena dampaknya bisa berlapis, terutama ke subsidi energi dan harga barang-barang lainnya,” jelasnya.
Kenaikan harga minyak berpotensi meningkatkan beban subsidi pemerintah, terutama di sektor bahan bakar dan logistik. Selain itu, harga minyak yang tinggi juga dapat menular ke harga kebutuhan pokok lainnya melalui mekanisme cost push inflation, yakni ketika biaya produksi naik akibat harga energi yang melonjak.
Namun demikian, Bank Indonesia NTB masih melihat bahwa situasi saat ini masih dalam batas toleransi. Kewaspadaan tetap dijaga, namun belum ada sinyal untuk perubahan kebijakan moneter atau fiskal secara reaktif.
Selain harga minyak, indikator penting lainnya yang turut dipantau adalah Baltic Dry Index (BDI). Indeks ini merupakan salah satu acuan utama untuk mengukur biaya pengiriman logistik global, terutama untuk komoditas curah kering seperti batu bara, bijih besi, dan gandum.
“Saya juga melihat Baltic Dry Index. Itu bisa menjadi ukuran biaya shipping atau logistik secara global. Hingga saat ini, belum ada pergerakan signifikan,” kata Barry.
Stabilnya BDI menunjukkan bahwa jalur perdagangan internasional masih berjalan normal, meskipun ada kekhawatiran bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah dapat mengganggu rute pelayaran utama seperti Selat Hormuz, yang dikenal sebagai chokepoint strategis dunia untuk minyak.

Konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah bukan hal baru. Sejak sebelum Perang Dunia Kedua, kawasan ini sudah menjadi medan ketegangan berbagai kepentingan global. Namun dengan kondisi global saat ini yang terintegrasi erat, setiap gejolak memiliki implikasi ekonomi yang lebih luas.
“Reda memanas, memang sudah lama terjadi. Tapi sekarang ada jalur-jalur baru untuk menghindari daerah konflik, walaupun konsekuensinya adalah biaya logistik jadi lebih mahal,” kata Barry.
Ia mencontohkan informasi dari mitra BI yang menyebutkan bahwa kapal pengangkut barang dari AS yang biasanya melewati Selat Hormuz, kini harus mengambil rute alternatif untuk menghindari potensi konflik. Perubahan jalur ini menambah waktu perjalanan hingga menjadi 34 hari, sehingga berkontribusi pada kenaikan biaya transportasi.
Barry juga membandingkan situasi ini dengan konflik antara Rusia dan Ukraina, yang masih berlangsung hingga pertengahan 2025. Konflik tersebut sempat mengguncang pasar energi dan pangan dunia secara signifikan, terutama pada tahun-tahun awal ketika pasokan gandum dan gas alam terganggu.
“Sama seperti kejadian Ukraina dan Rusia. Kita tahu dampaknya ke harga pangan dan energi dunia cukup besar. Tapi untuk kasus Iran-Israel saat ini, kita masih lihat bagaimana perkembangannya,” ujar Barry.
Menurutnya, penting bagi Indonesia—khususnya daerah seperti NTB—untuk terus memantau dan melakukan asesmen secara berkala, terutama jika ketegangan terus berlangsung dan berdampak pada jalur perdagangan utama atau harga energi global.
Meskipun situasi geopolitik menjadi salah satu faktor eksternal yang diawasi, Barry menekankan bahwa fokus utama BI saat ini masih tertuju pada tarif ekspor, daya beli masyarakat, dan pengendalian inflasi lokal.
“Untuk saat ini, kami di BI masih lebih fokus pada asesmen terhadap tarif ke AS dan perkembangan inflasi domestik. Geopolitik belum terlalu termanifestasi secara langsung,” tuturnya.
Hal ini menjadi sinyal bahwa BI tidak gegabah dalam mengambil langkah responsif terhadap isu global yang belum menunjukkan pengaruh langsung terhadap struktur ekonomi daerah. Strategi yang digunakan adalah wait-and-see sambil tetap menjaga komunikasi aktif dengan pemangku kebijakan pusat.
Secara spesifik terhadap Provinsi NTB, dampak dari kenaikan harga minyak atau logistik global masih belum terasa signifikan. Ekspor komoditas utama NTB seperti hasil pertanian, perikanan, dan sektor pariwisata juga belum menunjukkan gangguan yang berarti.
Namun demikian, BI NTB tetap mengingatkan pentingnya kewaspadaan, terutama dari sektor transportasi dan distribusi logistik antar pulau, yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga BBM.
Di tengah segala potensi dampak yang ada, Barry tetap menyampaikan harapan agar ketegangan di Timur Tengah tidak berkembang menjadi konflik berkepanjangan yang bisa memicu krisis energi global.
“Kita lihat lah, mudah-mudahan tidak terlalu panjang. Dunia saat ini sudah banyak krisis, jadi stabilitas sangat penting,” pungkasnya.
Kepala BI NTB tersebut juga menekankan bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang cukup kuat untuk merespons ketidakpastian global, asalkan respons kebijakan dilakukan tepat waktu dan berbasis data.