Jurnalekbis.com – Pada Selasa malam (11/3), mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, ditangkap dan diterbangkan ke Den Haag, Belanda, untuk diadili di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Penangkapan ini menandai babak baru dalam upaya internasional menuntut pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia selama masa kepemimpinannya.
Rodrigo Duterte, yang menjabat sebagai Presiden Filipina dari 2016 hingga 2022, ditangkap oleh otoritas Filipina saat tiba di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila setelah perjalanan dari Hong Kong. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh ICC terkait tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama kampanye anti-narkoba yang kontroversial.
Setelah penangkapan, Duterte segera diterbangkan ke Den Haag untuk menghadapi dakwaan di hadapan ICC. Langkah ini menandai pertama kalinya seorang mantan kepala negara Filipina diadili oleh pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Wakil Presiden Sara Duterte, yang juga merupakan putri dari Rodrigo Duterte, mengecam penangkapan tersebut. Dalam pernyataannya, Sara menyebut tindakan ini sebagai bentuk “penindasan dan penganiayaan” serta “penghinaan” terhadap kedaulatan Filipina. Ia menambahkan bahwa ayahnya belum dihadapkan ke otoritas pengadilan yang kompeten untuk memastikan hak-haknya dan memanfaatkan keringanan yang dijamin oleh hukum.
Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr. sebelumnya menyatakan akan mematuhi perintah penangkapan yang diterbitkan oleh ICC. Namun, penangkapan Duterte memicu perdebatan di dalam negeri mengenai kedaulatan nasional dan hubungan Filipina dengan lembaga internasional.
Selama masa kepresidenannya, Duterte melancarkan kampanye anti-narkoba yang dikenal dengan “perang melawan narkoba”. Kebijakan ini menuai kritik tajam dari komunitas internasional dan kelompok hak asasi manusia karena dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Menurut data resmi, lebih dari 6.000 orang tewas dalam operasi tersebut, sementara kelompok hak asasi manusia memperkirakan jumlah korban mencapai puluhan ribu.
Pada 2018, ICC memulai pemeriksaan awal terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait kampanye anti-narkoba Duterte. Sebagai respons, Filipina menarik diri dari Statuta Roma pada Maret 2019, menjadikannya negara kedua yang keluar dari perjanjian tersebut. Meskipun demikian, ICC menyatakan tetap memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi selama Filipina masih menjadi anggota.
Pada September 2021, ICC memberikan otorisasi untuk memulai investigasi penuh terhadap kampanye anti-narkoba di Filipina. Pemerintah Filipina sempat meminta penundaan investigasi pada November 2021, namun ICC melanjutkan penyelidikan setelah menilai permintaan tersebut tidak berdasar.
Penangkapan Duterte disambut baik oleh kelompok hak asasi manusia yang melihatnya sebagai langkah menuju keadilan bagi para korban kebijakan anti-narkoba yang brutal. Namun, di sisi lain, penangkapan ini juga memicu ketegangan politik di Filipina, terutama mengingat posisi putrinya, Sara Duterte, sebagai Wakil Presiden. Situasi ini dapat mempengaruhi dinamika politik domestik dan hubungan antara pendukung Duterte dan pemerintahan saat ini.
Selain itu, penangkapan ini menyoroti pentingnya kerja sama internasional dalam menegakkan hak asasi manusia dan akuntabilitas bagi para pemimpin yang diduga melakukan pelanggaran serius. Kasus ini juga dapat menjadi preseden bagi negara-negara lain dalam menangani dugaan kejahatan oleh pejabat tinggi negara.
Setibanya di Den Haag, Duterte akan menjalani proses hukum di hadapan ICC. Proses ini mencakup sidang pendahuluan untuk menentukan apakah ada bukti yang cukup untuk melanjutkan ke persidangan penuh. Jika terbukti bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan, Duterte dapat menghadapi hukuman penjara yang signifikan.
Penting untuk dicatat bahwa ICC tidak memberlakukan hukuman mati, sehingga hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan adalah penjara seumur hidup. Proses peradilan ini diperkirakan akan berlangsung lama dan menarik perhatian luas dari komunitas internasional, mengingat profil tinggi terdakwa dan implikasi kasus ini terhadap penegakan hukum internasional.