Jakarta, Jurnalekbis.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap pemenuhan rasio perumahan 3-2-1 oleh para pengembang, yang selama ini menjadi kewajiban namun dinilai masih sering diabaikan. Hal itu disampaikan dalam rapat bersama mitra kerja pemerintah, saat membahas pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta anggaran infrastruktur dan penanganan bencana.
Purbaya menyatakan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk memastikan aturan tersebut dijalankan sesuai amanat undang-undang. “Kami akan ingatkan kembali Menteri PUPR untuk menjalankan itu. Kami monitor lebih serius, dijalankan atau tidak,” ujarnya.
Dalam rapat itu, salah satu isu yang mengemuka adalah permintaan pendanaan dari PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebesar Rp6,68 triliun untuk mendukung program perumahan pemerintah sebanyak 350 ribu unit. Purbaya menjelaskan bahwa SMF berada di bawah Kementerian Keuangan, bukan pemerintah daerah, dan sebagian anggaran tersebut telah bersifat committed sehingga tidak bisa dilakukan pemotongan dalam tahun berjalan.
“Sebagian uangnya sudah commit untuk direimburse kepada pengembang melalui perbankan. Jadi sepertinya tidak bisa dipotong sekarang,” kata Purbaya.
Ia menambahkan bahwa perencanaan anggaran SMF akan diperbaiki pada tahun berikutnya agar pembiayaan lebih optimal dan tidak membebani pos lain dalam APBN.
Diskusi kemudian melebar pada alokasi anggaran penanganan bencana di sejumlah wilayah yang baru saja terdampak bencana besar. Purbaya mengungkapkan pemerintah telah menyediakan anggaran rehabilitasi ekonomi dan pemulihan infrastruktur yang dinilai cukup memadai.
“Dananya sudah dialokasikan cukup besar untuk rehabilitasi sistem perekonomian dan infrastruktur di sana,” ucapnya. Ia menegaskan bahwa tiga provinsi terdampak juga mendapat perlakuan khusus dalam skema transfer ke daerah, agar proses pemulihan dapat berjalan lebih cepat dan merata.
Menanggapi penjelasan Menteri Keuangan, sejumlah anggota dewan menyoroti soal skema pembiayaan perumahan MBR yang dinilai masih terlalu bergantung pada APBN. Mereka menegaskan bahwa kewajiban pengembang sebagaimana diatur undang-undang tidak boleh dilupakan.
Seorang anggota dewan mengingatkan bahwa pembiayaan perumahan MBR yang masuk dalam pos below the line seharusnya disertai mekanisme evaluasi terhadap kinerja pengembang, bukan murni menjadi beban pemerintah. “Pembiayaan MBR ini tidak selalu menjadi beban pemerintah. Undang-undang mengamanatkan ada tanggung jawab pengembang. Jangan hanya jadi beban APBN,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pembahasan APBN 2026 telah menyepakati adanya progres penerapan kewajiban pengembang dalam skema pembiayaan perumahan. Evaluasi kinerja tersebut diharapkan menjadi instrumen agar para pengembang tidak lepas tanggung jawab dalam penyediaan hunian layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Purbaya menegaskan siap menyesuaikan skema pengawasan pembiayaan dengan rekomendasi tersebut. “Pembiayaan ini di bawah Kementerian Keuangan, jadi pengendaliannya memang perlu disertai kontribusi dari pengembang,” katanya.
Dengan meningkatnya kebutuhan perumahan MBR dan tekanan APBN yang makin berat, pemerintah disebut harus mengubah skema pembiayaan agar lebih berimbang antara peran negara dan kewajiban sektor swasta. Sinkronisasi kebijakan Kemenkeu, PUPR, dan lembaga pembiayaan seperti SMF disebut akan menjadi kunci untuk memastikan pembangunan rumah untuk kelompok berpenghasilan rendah tidak tersendat, namun juga tidak terus membebani fiskal negara.












