Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, dalam diskusi bertajuk “Tapera antara Nikmat dan Sengsara”, menyatakan bahwa pemerintah terburu-buru dalam memaksakan program ini. “Pemerintah jangan terburu-buru memaksakan agar kebijakan ini tetap berjalan. Mengingat, sejumlah penolakan sudah mulai banyak dilakukan,” kata Maftuchan.
Maftuchan menuntut pemerintah untuk melakukan revisi segera terhadap peraturan Tapera, dan bahkan jika perlu, melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perumahan Rakyat. Ia juga mengkritik kurangnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan Tapera.
“Pemerintah harus lebih terbuka, lebih jujur kepada publik dan selalu mengedepankan proses perumusan kebijakan, regulasi yang lebih partisipatif,” ungkap Maftuchan.
Lebih lanjut, Maftuchan mengaku telah berkomunikasi dengan beberapa konfederasi serikat pekerja yang mengaku tidak diundang atau hanya diundang sekali dalam pembahasan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024. Ia juga menyayangkan minimnya debat terbuka dengan para ahli dan akademisi terkait kebijakan ini.
“Ini artinya hanya melengkapi persyaratan formil saja, dan itu pun tidak cukup. Belum lagi, debat-debat secara terbuka dengan expert, akademisi dan seterusnya. Ini juga sangat minim sekali. Kita selalu membahas dalam tanda petik di setengah kamar kemudian ketika meluncur peraturannya atau undang-undangnya atau regulasinya memunculkan polemik,” pungkasnya.
Penolakan terhadap program Tapera terus meluas di masyarakat. Desakan untuk melakukan revisi UU Perumahan Rakyat pun semakin menguat. Bagaimana kelanjutan program ini? Masih harus ditunggu.