[ytplayer id='15931']
Bisnis

Pengusaha di NTB Resah, Bayar Royalti Musik Bisa Dipenjara

×

Pengusaha di NTB Resah, Bayar Royalti Musik Bisa Dipenjara

Sebarkan artikel ini
Pengusaha di NTB Resah, Bayar Royalti Musik Bisa Dipenjara
Kunjungi Sosial Media Kami

Mataram, Jurnalekbis.com— Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan keberatannya terhadap kewajiban pembayaran royalti musik di hotel, restoran, dan kafe. Kewajiban ini dinilai sangat membebani, terutama di tengah kondisi ekonomi pelaku usaha pariwisata yang masih belum pulih sepenuhnya.

Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, mengungkapkan bahwa kebijakan pembayaran royalti yang harus disetorkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan LMKN itu sendiri.

“Ini terlalu mahal dipungut, dihitung per meter persegi dan dikalikan sekian meter. Sekalipun dibayar setahun sekali, tetap berat karena pengusaha sekarang ini tidak baik-baik saja,” tegas Wolini. Kamis  (7/8/2025).

Wolini menambahkan, selama ini tidak ada perwakilan LMKN di daerah, yang seharusnya menjadi tempat para pelaku usaha berkonsultasi terkait teknis pembayaran royalti. Akibatnya, banyak pengusaha yang tidak memahami secara utuh mekanisme, teknis pembayaran, dan konsekuensi hukum jika tidak membayar.

Baca Juga :  Kolaborasi dengan PNG Power, PLN Siap Pasok Listrik di Perbatasan Papua Nugini

“Saya selaku ketua PHRI saja belum diajak bicara. Kalau pun ada juknis-nya (petunjuk teknis), kami tidak tahu itu seperti apa. Masa konsultasi lewat HP? Tidak maksimal. Seharusnya LMKN turun langsung ke daerah,” imbuhnya.

Wolini juga mengungkapkan keresahan pelaku usaha yang makin menjadi setelah muncul kabar adanya pengusaha kuliner yang dipidanakan gara-gara memutar musik di tempat usaha tanpa membayar royalti. Kasus yang menyeret salah satu pemilik gerai makanan viral nasional itu menjadi sorotan, termasuk di NTB.

“Ada yang sudah kena pidana karena tidak bayar royalti. Ini yang membuat pengusaha semakin takut. Akhirnya banyak yang memilih untuk tidak memutar musik sama sekali agar aman,” kata dia.

Menurutnya, dengan beban pajak yang sudah mencapai hampir 30 persen dari total pendapatan, ditambah kewajiban membayar royalti musik, situasi ini semakin mencekik pelaku usaha kecil dan menengah di sektor pariwisata dan kuliner.

Baca Juga :  Properti Jadi Celah Pencucian Uang, PPATK Ingatkan Developer Lebih Waspada

PHRI NTB meminta pemerintah pusat dan DPR RI mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap regulasi terkait pembayaran royalti. Menurut Wolini, jika aturan ini dipaksakan dalam kondisi ekonomi daerah yang belum stabil, maka akan semakin menekan pelaku usaha.

“Dari 2018 kita sudah berat karena gempa, lalu COVID-19 di 2020, sekarang kita dihantam efisiensi anggaran pemerintah. Baru kemarin kita seminggu terselamatkan oleh event FORNAS, habis itu sepi lagi. Ini bukan kondisi yang ideal untuk beban tambahan seperti royalti musik,” tuturnya.

Ia mengimbau kepada seluruh pelaku usaha hotel, restoran, dan kafe di NTB agar lebih berhati-hati. Jika memang tidak sanggup membayar royalti, maka disarankan untuk tidak memutar musik demi menghindari sanksi hukum.

Sebagai informasi, kewajiban pembayaran royalti diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berdasarkan regulasi tersebut, pemilik usaha yang memutar karya musik di ruang publik, termasuk hotel, restoran, dan kafe, wajib membayar royalti kepada pencipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Baca Juga :  Gita Ariadi : Operasi Pasar Cara Jitu Jaga Inflasi

Namun, hingga kini, belum ada sistem representatif LMKN di seluruh provinsi, termasuk di NTB. Hal inilah yang membuat proses komunikasi dan konsultasi menjadi tidak efektif, sehingga banyak pelaku usaha merasa “dihantui” oleh aturan yang belum dipahami sepenuhnya.

Menutup pernyataannya, Ni Ketut Wolini berharap ada forum dialog terbuka antara LMKN, pemerintah daerah, dan pelaku usaha agar peraturan yang baik tidak menjadi momok bagi industri pariwisata dan ekonomi kreatif di daerah.

“Kami tidak menolak membayar royalti kalau itu jelas, adil, dan ada komunikasi. Tapi jangan sampai aturan ini justru membuat pelaku usaha tumbang satu per satu,” pungkasnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *